Sosial
Pustakawan, Gaji Hanya Segelintir di Tengah Kerja dan Tuntutan Yang Berat






Wonosari, (pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Ikatan Pustakawan Indonesia Kabupaten Gunungkidul terus mendorong pemerintah desa maupun pemerintah daerah untuk memberi upah layak kepada pustakawan. Di era industri 4.0 beban pustakawan makin berat karena dituntut untuk bersinergi dengan perubahan iklim informasi digital. Saat ini, para pustakawan harus menerima kenyataan menerima gaji hanya ratusan ribu rupiah di tengah beban kerja yang berat yang harus diemban.
“Perpustakaan saat ini harus dapat diakses 24 jam, harus dapat diakses dari manapun, dapat memudahkan pemustaka untuk membaca, menandai dan mengutip sumber bacaan,” tutur Ketua IPI Gunungkidul, Agung Wibawa kepada pidjar-com-525357.hostingersite.com, Rabu (24/07/2019) kemarin.
Oleh karenanya, dalam menyediakan transformasi digital, perpustakaan untuk kaum milineal dibutuhkan tenaga pustakawan yang cakap dan mengerti tentang teknologi. Namun demikian, kecakapan para pustakawan di Kabupaten Gunungkidul tidak dibarengi dengan kelayakan upah. Di Gunungkidul sendiri, saat ini tercatat ada 250 pustakawan yang tergabung dalam IPI. Dari jumlah tersebut para pustakawan yang bekerja di desa maupun di sekolah belum memiliki gaji layak.
“Pustakawan fungsional sudah ada standar gaji. Sedangkan untuk yang pengelola perpustakaan belum sesuai dengan beban kerjanya karena rata-rata masih honorer. Sedangkan di desa memang benar-benar relawan jadi tidak mempermasalahkannya,” beber Agung.
Agung menyebut, pihaknya sering memperjuangkan upah yang layak bagi para pustakawan baik di desa maupun di sekolah. Ia mengatakan upah layak bagi para pustakawan ialah setara dengan Upah Minimum Regional (UMR).







“Kami sering sampaikan ke kades dan perangkat desa, agar memberikan honor yang layak untuk pengelola perpusdes,” ujarnya.
Namun menurutnya, aturan dari masing-masing desa telah memberi patokan upah pada kisaran Rp 400 ribu per bulan untuk maksimal dua orang pustakawan. Sedangkan untuk pustakawan sekolah yang masih honorer juga diberikan upah yang cukup minim.
“Masih jauh dari layak. Ketika mereka diangkat dari jenjang pendidikan baik D2, D3 maupun S1 perpustakaan, mereka sudah masuk kerja namun justru dipekerjakan untuk membantu mengerjakan tugas lain seperti BOS sehingga mereka mengesampingkan tugas utama mereka,” lanjut Agung.
Sementara itu, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Gunungkidul, Ali Ridlo mengatakan upah bagi pustakawan desa sepenuhnya kewenangan desa. Menurutnya penetapan upah diatur dalam APBDes dengan putusan anggaran dari musyawarah desa.
“Di sekolah juga dsri dari BOS, ranahnya ada di sekolah atau Dikpora,” tandasnya.