Pariwisata
Keluhan Pelaku Wisata: Mall Sudah Boleh Buka Kok Pantai Masih Ditutup Terus






Wonosari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Pemerintah Republik Indonesia memperpanjang masa PPKM Level 3 hingga 4 Oktober 2021 mendatang. Kebijakan ini cukup memberatkan pelaku wisata. Mengingat sejauh ini, seluruh lokasi wisata di Gunungkidul masih belum diperbolehkan untuk buka dan beroperasi.
Salah satu pedagang di Pantai Selatan, Denta Fistawan mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah yang terus menutup lokasi wisata Gunungkidul. Kebijakan ini menurutnya semakin mencekik para pelaku wisata yang lebih dari 2 bulan harus kehilangan mata pencahariannya. Bahkan, para pedagang masing-masing harus merugi hingga puluhan juta lantaran barang dagangan yang sebagian besar merupakan makanan telah basi.
Yang cukup aneh, obyek wisata Gunungkidul sendiri masih ditutup sementara tempat rekreasi maupun mall sudah diperbolehkan beroperasi. Hal tersebut disebutnya adalah sebuah ketidakadilan dari pemerintah.
“Kita semua sudah manut untuk divaksin, kami pingin perekonomian segera pulih,” kata Denta, Sabtu (25/09/2021).
Denta menambahkan, seharusnya lokasi wisata lebih aman dibuka karena lebih terbuka ketimbang pusat perbelanjaan seperti mall di mana mutasi virus covid bisa terjadi. Lokasi wisata Gunungkidul sendiri sebagian besar berada di alam terbuka.







“Kalau nggak segera dibuka sektor ini mati, dagangan kami yang kadaluarsa gak ada yang mau ganti rugi,” keluh dia.
Sosiolog UGM, AB Widyanta melihat kebijakan pemerintah ini memang cukup dilematis. Ia sendiri menilai, kebijakan belum dibukanya seluruh lokasi wisata sementara melonggarkan operasional mall karena dinilai pemerintah sebagai rute terdekat untuk menggerakkan ekonomi agar tidak membeku . Menurutnya jika ekonomi lokal membeku, pertumbuhan ekonomi pun tersendat.
“Pilihan mengaktivasi mall dan pusat perbelanjaan menjadi tools pengungkit pertumbuhan ekonomi itu. Kedua, selain sebagai konsentrasi kepadatan penduduk, wilayah urban adalah pusat ekonomi jasa yang relatif tinggi, sehingga daya ungkit pertumbuhan ekonomi terletak di situ, ketimbang wilayah rural,” papar AB.
Kendati begitu, ia nilai kebijakan ini cukup bias urban. Sehingga memiliki risiko besar tejadi peningkatan paparan covid19.
“Tingkat kerentanan dalam hal kesehatan dan ekonomi memang terkonsentrasi di wilayah urban. Karenanya pemerintah perlu memperkuat pengawasan pada tahapan transisi pelonggaran ini,” jelas AB.
Sebagaimana yang selalu diserukan para nakes dan epidemolog, pemerintah daerah tetap perlu persisten menggunakan prinsip 5M yakni menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan dan 3T yakni teting, tracing dan treatment serta vaksinasi.
“Jika persistensi itu masih bisa dijaga, sebetulnya pemerintah bisa menguji coba untuk menyentuh wilayah destinasi wisata agar pemerataan ekonomi juga segera bisa dirasakan oleh warga di wilayah pedesaan, bukan hanya di wilayah urban saja,” terangnya.
Sehingga dengan begitu, menurut AB, warga bisa merasakan arti keadilan. Tentu, semua kebijakan perlu diputuskan dengan basis kajian yang terukur.
“Agar dampaknya tidak kontra produktif dengan yang sudah dilakukan,” tandas dia.