Uncategorized
Perebutan Gelar Triple Crown 2025 di Indonesia Indonesia Derby 2025






Jogja,(pidjar.com)–Kuda King Argentine yang telah memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR–Triple Crown Serie 1 dan IHR–Triple Crown Serie 2 lalu, menghidupkan peluang menjadi kuda ketiga peraih gelar Triple Crown di Indonesia jika bisa memenangkan Kelas 3 Tahun Derby di IHR-Indonesia Derby.
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan berturut-turut. Sebuah istilah untuk menyebut tiga balapan besar dalam satu musim, yang harus dimenangkan oleh seekor kuda pacu berusia tiga tahun.
Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir menjelaskan meski konsepnya serupa, tiga kemenangan dalam satu musim, Triple Crown di setiap negara punya warna dan tantangan tersendiri.







“Di Amerika, Inggris, dan Jepang, Triple Crown adalah arena khusus bagi kuda usia 3 tahun. Sementara di Hong Kong, usia tak lagi jadi batasan. Di Australia, bahkan sprinter pun diberi jalur menuju mahkota mereka sendiri,”kata Munawir (3/7/25).
Saat ini, olahraga pacuan kuda di Indonesia ada di ambang pintu terciptanya sejarah baru Triple Crown.
“Setelah Indonesia’s Horse Racing (IHR)–Triple Crown Serie 1 pada April dan IHR–Triple Crown Serie 2 pada Mei lalu, rangkaian perebutan gelar Triple Crown 2025 di Indonesia tinggal menyisakan satu lagi kejuaraan yaitu IHR–Kejurnas Serie 1 Indonesia Derby atau IHR–Indonesia Derby pada 27 Juli mendatang. Selangkah lagi, dan kita berharap dapat melihat terukirnya sejarah baru di Indonesia,”Munawir optimis.
Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama yaitu tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda. Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya: Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.
“Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu kuda Manik Trisula pada 2002 dan kuda Djohar Manik pada 2014. Dan sejak itu, satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang,”tambahnya.
Sejarah mencatat setidaknya tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown namun gagal. Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019). Ada juga yang menang di 2 laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama seperti Pesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023). Sementara Lady Aria (2018) memenangkan leg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.
“Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia,” ujar Munawir.
Triple Crown, sambung Munawair, menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi tak tergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkan fluktuasi psikologis seekor kuda.
Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancang menyesuaikan karakter dan daya tahan kuda lokal. Derby tidak dibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebani atau mencederai kuda.
“Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu. Kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun. Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untuk menjadi juara Triple Crown,” imbuhnya
Triple Crown bukan sekadar tiga kemenangan. Ia adalah ujian kesempurnaan tentang ketangguhan fisik, kecepatan yang konsisten, strategi matang, dan keberuntungan yang berpihak.
“Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang berhasil, sejarah di seluruh dunia telah membuktikan. Kini, Indonesia menanti apakah 27 Juli nanti mahkota itu akan kembali menemukan tuannya,”tandasnya. (Rosa)