Connect with us

Sosial

Kisah Keluarga Suparman Yang Karena Keterbatasan Terpaksa Hidup Dalam Kegelapan dan Kesulitan Air

Diterbitkan

pada

BDG

Patuk,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Keterbatasan finansial membuat Suparman (45) bersama istrinya, Usrek (40) serta anak semata wayangnya Intan Permata Sari (7) harus rela hidup dalam kegelapan dan kekurangan air. Sudah selama beberapa hari terakhir ini, kalurga kecil yang berprofesi sebagai pengumpul rosok ini memilih menempati perumahan untuk pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) yang dibangun pemerintah di Padukuhan Doga, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk. Walaupun bangunan yang dihuni cukup megah, namun di lokasi tersebut, belum ada fasilitas listrik maupun air bersih.

Suparman mengatakan, dirinya sebenarnya sudah mengantri untuk bisa mendapatkan hunian di PGOT sejak tahun 2015. Sebelumnya, ia memang sangat antusias akhirnya bisa memiliki rumah melalui program pemerintah tersebut. Keseharian Suparman yang hanya buruh rosok membuatnya tak mampu untuk membeli hunian bagi keluarganya.

Asanya untuk bisa menghuni tempat tinggal yang layak bersama keluarganya akhirnya kandas lantaran hingga beberapa tahun berselang, tak kunjung ada kejelasan terkait hunian yang dijanjikan Dinas Sosial DIY itu.

Akhirnya setelah kebingungan mencari tempat tinggal, pada Minggu (12/08/2018) lalu, ia memutuskan untuk boyongan ke lokasi itu. Adapun saat ini meski telah berdiri sejumlah rumah, akan tetapi PGOT itu memang masih sepi dan tidak ada penghuni.

Berita Lainnya  Dua Warga Girisekar Terkonfirmasi Positif Covid, Pemerintah Kalurahan Tutup Sementara Pasar Jowa

“Kemarin pindah ke sini setelah berhenti dari kerja di rosok,” tutur Suparman, Selasa (14/08/2018).

Dengan fasilitas yang minim, ia harus kembali memutar otak. Pasalnya jika malam hari, istri dan anaknya kerap mengeluhkan gelapnya malam. Dirinya pun membuat penerangan dari bekas botol suplemen yang dilubangi atasnya untuk sumbu.

“Pakai senthir (lentera) karena belum ada listrik, kalau airnya harus ambil dari bawah sana, jalan kaki melalui pematang sawah itu. Lumayan jauh tapi ya ndak apa-apa, mau bagaimana lagi” ucapnya.

Suparman yang sebenarnya terdaftar sebagai warga Temanggung, Jawa Tengah ini mengaku belum mengetahui pekerjaan apa yang akan dijalankan selama tinggal disana. Pria yang sudah berkeliling Yogyakarta selama puluhan tahun sebagai pemulung ini mengaku bercita-cita ingin bisa bertani dan membuat pupuk organik.

“Untuk beras mungkin bisa bertahan sebulan, lauknya beli di desa. Beli sayur asal bisa makan dulu,” ujar dia.

Setelah memiliki hunian baru, Suparman saat ini disibukan untuk memikirkan pendidikan anaknya. Ia berencana untuk memindahkan anaknya ke sekolah terdekat. Saat ini, sang putri tercinta yang telah duduk di kelas 1 Sekolah Dasar tersebut masih belum masuk sekolah.

Berita Lainnya  Berantas Hama Tikus Secara Alami, Burung Hantu Dilepas di Lahan Pertanian Banaran

“Intan sudah sekolah kelas I, tetapi kemarin terpaksa keluar dulu, mau pindah di sini saja,” imbuh dia.

Sementara itu, Kepala Desa Nglanggeran, Senen mengaku belum ada koordinasi dengan instansi terkait mengenai hunian PGOT yang sudah mulai dihuni. Pihaknya mendengar dari masyarakat sekitar, dan sudah melakukan koordinasi dengan calon penghuni.

“Sudah ada yang didaftar kemarin, soalnya kami juga belum mengetahui kok sudah dihuni,” lanjut dia.

Saat perencanaan pihak desa hanya menerima sosialisasi. Terkait penggunaan, dirinya hanya mengetahui bahwa di lokasi tersebut belum ada sarana yang memadai.

“Setahu saya, bangunan itu belum layak digunakan, karena belum ada listrik dan air. Kemarin saat mengumpulkan calon pemakai sudah saya sosialisasikan untuk ambil air di sumber di seberang sungai, dan sekaligus juva melarang untuk BAB di sungai,” katanya.

Berita Lainnya  Anggaran Dropping Air Semakin Menipis, Diperkirakan Tak Akan Sampai Musim Kemarau Usai

Senen berharap nantinya segera ada koordinasi dengan masyarakat saat akan digunakan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan sosial dengan warga sekitar di kemudian hari. Apalagi bangunan dengan jumlah 40 rumah yang dikenal dengan program Desaku Menanti itu kondisinya memprihatinkan. Hal ini dikarenakan di lokasi tersebut, bencana longsor yang bisa sewaktu-waktu terjadi.

Saat ini, rumah di lereng perbukitan berbentuk 3 baris bertingkat itu pada bangunan baris paling bawah sudah tergerus air. Jarak rumah dengan talud ambrol hanya sekitar satu meter.

“Ada informasi dari LBH yang mendampingi katanya besuk Selasa (14/08/2018) mau dikumpulkan. Tetapi kami tidak mengetahui pastinya. Semoga dari pihak terkait bisa segera berkoordinasi dengan desa agar kami mengetahui,” urainya.

Terpisah, Kepala Dinas Sosial Gunungkidul Siwi Irianti mengaku tidak mengetahui seperti apa ke depan lokasi tersebut akan digunakan. Sebab, tidak ada koordinasi dengan pemerintah kabupaten.

“Laporan dari teman-teman yang dulu memang tidak ada koordinasi dengan kabupaten. Kami tidak mengetahui,” katanya.

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler