Sosial
Kisah Tuginem dan Tugiyem Yang Harus Hidup Sebatangkara Dalam Kondisi Lumpuh dan Buta






Nglipar,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Jauh dari orang tua dan tidak begitu sering mendapat kabar tentu membuat hati seorang anak merasakan rasa yang begitu sedih. Terlebih jika tidak mengetahui kondisi orang tua maupun sanak saudara, apakah dalam kondisi baik-baik saja atau tidak. Hal ini yang selama ini dirasakan oleh Waryati, warga Padukuhan Dok Ploso, Desa Pengkol, Kecamatan Nglipar. Sejak puluhan tahun lalu, ia tinggal di Pulau Sumatra mengikuti program transmigrasi dari pemerintah.
Selama di Pulau Sumatera, ia tidak bisa mengetahui kabar orang. Pasalnya komunikasi antara Waryati dengan keluarganya yang berada di Padukuhan Dok Ploso sangat sulit terjalin. Selama itu pula di tengah kondisi ekonomi yang berat di perantauan, ia hanya bisa menahan rasa penasaran terkait keadaan orang tuanya atau sanak keluarga yang lain. Ketiadaan ongkos, membuatnya juga selama puluhan tahun tak memberanikan diri untuk pulang menengok keadaan rumahnya.
Bagai tersayat-sayat hatinya ketika Rabu (26/09/2018) lalu sepulang dari ladang sawit, ia mendapatkan kabar yang cukup tidak mengenakkan hatinya. Sebuah postingan di grup media sosial yang mengunggah kondisi orang tua dan adiknya langsung membuatnya lemas. Ia melihat foto adik dan ibunya dalam kondisi yang memprihatinkan. Ibu dan adiknya hidup berdua di mana sang ibu mengalami lumpuh sedangkan adiknya yang merawat mengalami kebutaan.
“Jarang komunikasi, susah juga kalau setiap hari mau ngebel. Pas hari Rabu itu, saya pulang dari kerja terus sampe rumah dikasih tahu anak. Ya gimana rasanya, sedih itu pasti saya langsung pesen tiket pulang pun dengan ongkos pas-pasan,” kata Waryati sembari terbata-bata, Senin (01/10/2018).

Rumah reyot yang dihuni oleh Tuginem dan Tumiyem
Selama perjalanan, ia tak henti-hentinya memikirkan Tuginem (85) ibunya dan adiknya Tugiyem (58) yang tinggal berdua di rumah dalam kondisi sakit. Perasaan seorang anak tentunya hancur melihat apa yang dialami dua orang yang paling dicintainya tersebut. Dua orang janda yang memiliki keterbatasan gerak, hidup bersamaan tanpa ada yang mengurusi.







Tentu merupakan potret yang amat memilukan. Diceritakan Waryati, Tuginem (85) ibu yang melahirkannya itu lumpuh telah 2 bulan lamanya. Semula Tuginem dapat beraktifitas seperti biasa, namun karena usia yang sudah tua tiba-tiba dirinya tidak bisa berjalan. Kakinya sudah tidak kuat menahan bebannya. Keadaan sendiri semakin memburuk lantaran sakit sesak nafas yang sebelumnya diderita sering kambuh pula.
Selepas lumpuh itu, dalam esehariannya, Tuginem hanya dirawat oleh Tugiyem (58) anaknya yang juga memiliki keterbatasan. Sejak kurang lebih 11 tahun lalu, Tugiyem mengalami permasalahan pada mata. Walaupun sudah berulangkali berobat dan menghabiskan barang-barang yang dimiliki, sakit pada matanya itu justru tidak sembuh dan bahkan berujung dengan kebutaan permanen. Bola mata yang semula hitam saat ini berubah menjadi putih ke abu-abuan, hanya gelap yang ia lihat.
“Meski tidak bisa melihat tapi tetap bisa beraktifitas. Masak juga bisa, mandiin simbok juga bisa. Hanya pakai perasaan dia saja,” tambah Waryati.
Segala aktifitas dan keperluan Tuginem dibantu oleh Tugiyem yang tidak dapat melihat itu. Mulai dari makan, mandi, atau hal-hal lainnya. Sejak beberapa tahun belakangan, keduanya perempuan ini memang hanya hidup berdua. Untuk kebutuhan sehari-hari keduanya hanya mengandalkan bantuan dari belaskasih warga dan saudara lainnya. Bantuan dari pemerintah juga sering didapatkan oleh keluarga ini.
Hidup di daerah yang terpencil, berada di balik gunung tentu ada kekhawatiran tersendiri. Namun perasaan itu dibuang oleh mereka jauh-jauh. Letak rumah ini berada di kaki pegunungan. Beberapa meter diatasan sudah jalan tanah yang begitu membahayakan. Rumah yang dihuni oleh keduanya adalah rumah bantuan Caritas belasan tahun silam. Karena rumah yang terdahulu rusak akibat gempa di DIY pada 2006 silam.

Tugiyem yang harus beraktifitas menggunakan tongkat lantaran mengalami kebutaan
Posisi rumah yang berada di bawah tebing, tentu sangat membahayakan. Pasalnya di sekitar daerah ini merupakan kawasan tanah longsor. Tepat disebelah timur rumah saat musim penghujan tahun lalu terdapat 13 titik tanah longsor yang merusak beberapa rumah dan membahayakan warganya.
Meski satu bangunan rumah sudah berbahan tembok, namun beberapa bangunan lainnya, khususnya yang digunakan untuk Tugiyem tidur justru kondisinya sangat memprihatinkan. Hanya dari tambalan-tambalan gedeg anyaman bambu yang tentu sangat tidak layak. Perabot yang layak tidak dimiliki keluarga ini.
Untuk keperluan mandi, keluarga ini tidak memiliki kamar mandi yang layak. Di pojokkan rumahnya hanya terdapat seperti sumber air kecil yang digunakan untuk keperluan sehari-hari. Untuk keperluan listrik, hanya menyambung dari tetangganya dengan setiap bulannya membayar sebesar 20 ribu. Jalan untuk sampai di rumah Tuginem sendiri juga cukup curam. Jika sore atau malam, hanya gelap yang terlihat lantaran memang tidak ada penerangan yang memadai.
Kepada pidjar-com-525357.hostingersite.com, Tuginem yang masih memiliki pendengaran dan penglihatan baik itu mengungkapkan keinginan terakhir di tengah sakitnya tersebut. Ia menginginkan di akhir masa hayatnya ini, seluruh anak maupun cucunya bisa berkumpul bersamanya. Jika terlaksana, hal tersebut sudah membuatnya sangat berbahagia.
“Gur pengen anak putu ki nglumpuk. Wingi pas Waryati urung mantuk yo ono roso kangen. Saiki wis podo nglumpuk, aku wis tuo lan lempoh seneng ngerti anak nglumpuk dadi siji. Sak pangan-pangan penting nglumpuk. (Cuma ingin anak cucu kumpul. Kemarin waktu Waryati belum datang ada rasa kangen. Sekarang saya sudah tua dan lumpuh, senang rasanya melihat anak kumpul jadi satu. Makan ala kadarnya yang penting kumpul),” kata Tuginem.
Tugiyem juga masih ingat betul kenangan saat dirinya masih sehat, berjualan sayur serta pakaian di pasar sekitaran Nglipar dan Wonosari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan dia juga masih ingat rasanya naik bus dan kapal menyebrang di lautan untuk menuju ke Sumatera mengikuti Waryati bekerja.
“Sekarang perut saya sering sakit, saya tidak bisa bekerja lagi,” ucapnya dengan terbata.
Sebagai informasi, sebelumnya postingan terkait dengan kehidupan Tuginem dan Tugiyem sempat viral di media sosial. Sejenak, postingan tersebut langsung mendapatkan respon dari khalayak netizen. Hampir semua bersimpati dengan kondisi Tuginem dan Tugiyem yang hidup sebatangkara. Simpati yang tentunya sangat wajar mengingat Tuginem yang sudah renta dan lumpuh sehari-harinya hanya dirawat oleh Tugiyem yang buta.
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Bupati Endah Harapkan Tradisi Urbanisasi Mulai Berkurang
-
Pemerintahan1 minggu yang lalu
Akhirnya Gunungkidul Akan Kembali Punya Bioskop
-
film2 minggu yang lalu
Diputar Bertepatan Momen Lebaran, Film Komang Ajak Rayakan Perbedaan
-
bisnis4 minggu yang lalu
PT Railink Raih Penghargaan 7th Top Digital Corporate Brand Award 2025
-
Uncategorized3 minggu yang lalu
Milad ke 12, Sekolah Swasta Ini Telah Raih Ribuan Prestasi
-
bisnis3 minggu yang lalu
Hadirkan Zona Baru, Suraloka Interactive Zoo Siap Berikan Pengalaman Interaktif dan Edukatif
-
bisnis3 minggu yang lalu
Sambut Lebaran 2025, KAI Bandara Beri Diskon Tiket dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
-
Peristiwa3 minggu yang lalu
Jelang Lebaran, Polisi Himbau Warga Waspadai Peredaran Uang Palsu
-
bisnis4 minggu yang lalu
Catat Kinerja Positif di Tahun 2024, WOM Finance Berhasil Tingkatkan Aset 4,68 Persen
-
Peristiwa2 minggu yang lalu
Kebakaran di Rongkop, Bangunan Rumah Hingga Motor Hangus Terbakar
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Puluhan Sapi di Gunungkidul Mati Diduga Karena Antraks
-
bisnis3 minggu yang lalu
Jelang Idulfitri, Daop 6 Yogyakarta Bagi 250 Paket Sembako kepada Para Porter