Pariwisata
Perebutan Lahan Pantai Watukodok Tak Kunjung Usai, Komisi A DPRD DIY Akan Panggil Bupati Badingah






Tanjungsari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Berduyun-duyunnya investor yang masuk ke kawasan pantai selatan sebagai dampak dari boomingnya pariwisata Gunungkidul membuat warga pribumi semakin terjepit. Banyak diantara warga yang telah secara turun temurun mengelola kawasan pantai yang merupakan Sultan Ground terancam terusir dengan kehadiran para investor yang ingin mengembangkan daerah pantai menjadi kawasan wisata modern.
Seperti yang saat ini terjadi di Pantai Watukodok. Konflik saat ini masih terus dirasakan oleh warga pengelola. Meski tak ada lagi surat somasi dari kuasa hukum investor yang mengklaim telah mendapatkan surat kekancingan dari Kraton Yogyakarta seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, namun perebutan lahan antara kelompok pengelola dengan sekelompok kecil lainnya yang diduga mendapatkan bekingan dari pihak investor menjadi riak di Pantai Watukodok.
Konflik yang terus terjadi ini memancing perhatian dari anggota Komisi A DPRD Gunungkidul, Slamet S.Pd. Pada Kamis (22/03/2018) siang tadi, ia melakukan inspeksi ke Pantai Watukodok yang terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari tersebut.
"Ini merupakan kunjungan awal saja, sekedar mengumpulkan data dan fakta yang akan menjadi dasar pedoman kami dalam melangkah. Ke depan kita akan lakukan kunjungan resmi dari Komisi A DPRD DIY yang diharapkan bisa menyelesaikan konflik yang terus terjadi ini," kata Slamet, Kamis siang.
Masalah perebutan lahan antara pengelola pribumi dengan investor semacam ini menurut Slamet tidak hanya terjadi di Pantai Watukodok saja. Untuk itulah, ia ke depan akan segera menginisiasi agenda pemanggilan terhadap pihak Panitikismo Kraton Yogyakarta dan jika diperlukan hingga ke Bupati Gunungkidul.







"Nanti akan kita telusuri bagaimana ini status tanah Sultan Groundnya, apakah sudah bersertifikat atau bagaimana. Tak hanya di sini, kita sebagai komisi yang mengurusi permasalahan Sultan Ground ingin agar status lahan-lahan SG ini bisa dipastikan dengan status maupun sertifikatnya bagaimana sehingga konflik-konflik perebutan lahan ini tidak terus menerus terjadi," tandas dia.
Sesuai dengan semangat Perdais serta komitmen dari Kraton Yogyakarta selaku pemilik lahan, kekancingan untuk warga masyarakat pribumi disebut Slamet adalah yang utama. Investor tidak diperbolehkan secara tiba-tiba masuk dan mengusir warga setempat yang telah mengolah lahan itu secara turun temurun. Investor diperbolehkan masuk dan memanfaatkan lahan SG jika lahan tersebut kosong tanpa ada masyarakat setempat yang menggarapnya.
"Pada prinsipnya, kalau sudah dikelola rakyat, Kraton tidak akan meminta kembali. Biarkan dikelola rakyat kecuali untuk kepentingan yang lebih besar seperti dibangun pelabuhan atau fasilitas umum lainnya. Jadi kalau warga terusir karena investor saya kira itu tidak boleh terjadi," tegasnya.
Yang ia sayangkan, meski sangat potensial dari sisi panorama, Pantai Watukodok menurut Slamet seakan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Seperti misalnya akses jalan menuju pantai yang mulai ramai ini jauh dari kata layak. Hal semacam ini tentu saja sangat menghambat pengembangan obyek wisata.
"Apa karena ngeyel terus tidak mendapatkan perhatian? Ke depan ini harus segera diaspal agar nyaman sehingga tingkat kunjungan bisa ditingkatkan," urainya.
Sementara Humas Paguyuban Kawula Pesisir Mataram (PKPM) selaku pengelola Pantai Watukodok, Surahman menyatakan tidak mengetahui perihal status Pantai Watukodok saat ini apakah sudah bersertifikat atau belum. Pasalnya, hingga saat ini masih belum ada pengukuran tanah dari BPN maupun pihak manapun. Warga memang sempat melihat adanya sejumlah orang yang melakukan pengukuran pantai sebelum terjadinya konflik pada tahun 2013 silam.
"Ternyata itu dari Panitikismo setelah kita telusuri," tutur dia.
Surahman sendiri berharap agar ke depan, masyarakat seperti dirinya tidak terpinggirkan dengan pengembangan kawasan pantai yang saat ini gencar dilakukan. Bagaimanapun menurutnya, warga setempat harus tetap dilibatkan dalam aktifitas pariwisata.
"Kami bukan ngeyel, kami mau ditata tapi bukan diusir dari tanah yang telah turun-temurun digarap oleh kakek nenek kami," tutupnya.