fbpx
Connect with us

Sosial

Senjakala Produksi Garam Kanigoro, Terlalu Asin dan Gagal Tembus Pasar

Diterbitkan

pada

BDG

Saptosari,(pidjar.com)– Beberapa tahun silam, masyarakat di Kalurahan Kanigoro, Kapanewon Saptosari berinovasi memproduksi garam dengan memanfaatkan air laut yang berada di Pantai Dadapayam. Namun saat ini pengelolaan garam tersebut justru terbengkalai dan tidak berproduksi lagi. Kegagalan menembus pasar membuat usaha ini terus merugi hingga akhirnya ditutup warga. Selain itu, garam hasil budidaya warga sendiri juga belum lolos uji standar kesehatan.

Ketua Kelompok Budidaya Garam Dadap Makmur di Pantai Dadapayam Triyono mengatakan, pembuatan garam menjadi inovasi yang dilakukan warga Pantai Dadapayam, Padukuhan Gebang, Kalurahan Kanigoro sejak tahun 2017. Usaha ini sempat menjadi pengharapan besar bagi masyarakat yang masuk dalam kelompok ini untuk memperbaiki kesejahteraan.

Berita Lainnya  Amankan Perayaan Paskah, Tim Gegana Sisir Gereja-gereja Besar di Gunungkidul

Namun lantaran berbagai hal, usaha kelompok ini tidak kunjung menunjukkan prospek yang baik. Salah satu yang krusial adalah kegagalan menembus pasar dan harga jual tidak sebanding dengan operasional produksi. Sempat beberapa tahun bertahan, warga akhirnya menyerah dan lantas menghentikan aktivitas pembuatan garam. Kelompok budidaya kemudian mengembalikan pengelolaan ke Kalurahan Kanigoro.

“Sudah tidak dilakukan produksi oleh petani garam di pantai tersebut (Dadapayam). Termasuk kelompok kami sudah mengundurkan diri,” kata Triyono.

Sekretaris Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) Giridipta Kalurahan Kanigoro, Suyatno menambahkan, aktivitas pembuatan dan pengelolaan garam di Pantai Dadapayam terhenti dan dikembalikan ke Pemkal dan diserahkan ke BUMKal di tahun 2021 kemarin. Terbengkalainya pembuatan garam laut ini karena penjualan yang tak sebanding dengan biaya operasional. Selama ini, warga terus merugi dan akhirnya memilih untuk menyerah.

Berita Lainnya  Irigasi Jadi Solusi Pertanian di Musim Kemarau

“Harga jualnya sangat rendah dan memang belum bisa menembus pasaran. Jadi selama ini hanya dijual ke sesama petani atau peternak. Per kilo garam ini hanya seharga Rp 1.000 saja. Padahal pendapatan harus dibagi 50 anggota kelompok. Dari harga segitu tentu tidak mampu mencukupi biaya operasional,” kata Suyanto.

Selain itu juga berkaitan dengan dengan kualitas garam, menurutnya, beberapa tahun lalu pernah ada pertemuan dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan Daerah Istimewa Yogyakarta membahas potensi yang ada didaerah. Selang beberapa hari, terdapat evaluasi yang dilakukan oleh tim ahli kusus.

Hasil dari survei yang dilakukan, garam yang diproduksi oleh petani di pantai selatan memang tidak lolos standar kesehatan. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala untuk masuk ke pasar dan penjualannya meluas.

Berita Lainnya  Cerita Pilu Keluarga Ngadiono, Pernah Hidup di Hutan Selama Bertahun-tahun Sebelum Memutuskan Tinggal di Kandang Sapi

“Belum tembus pasar karena hal itu. Mohon maaf, masyarakat juga tidak berani mengkonsumsi garam tersebut. Garam yang diproduksi dikhususkan untuk ternak karena kadar garam itu sangat asin, tidak masuk dalam standar kesehatan,” Suyatno.

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler