fbpx
Connect with us

Sosial

Tapal Batas Desa Bergeser Puluhan Meter, Warga Desa Watusigar Bergejolak

Diterbitkan

pada

BDG

Ngawen, (pidjar.com)–Warga di 3 padukuhan di Desa Watusigar, Kecamatan Ngawen tengah bergejolak. Hal ini dipicu oleh pemasangan tapal batas desa yang baru. Patok perbatasan antara Desa Watusigar, Kecamatan Ngawen dengan Desa Jatiayu, Kecamatan Karangmojo dinilai bergeser sejauh dari tapal batas semula. Pergeseran ini dinilai sangat merugikan warga maupun pemerintah Desa Watusigar.

Akibat dari pergeseran patok batas ini, Desa Watusigar mengalami kerugian sekitar 15.000 meter tanah yang beralih kepemilikan menjadi milik Desa Jatiayu. Rinciannya patok batas yang bergeser dari titik semula yakni 10 meter dikalikan panjang lebih kurang 1,5 kilometer yang melintasi 3 padukuhan. Patok tapal batas Desa Jatiayu dengan Watusigar bergeser ke utara dan membuat wilayah Watusigar menyempit dari luasan semula.

Ketua BPD Desa Watusigar, Pardi menyatakan keberatan atas pemasangan tapal batas tersebut. Pria yang juga merupakan tokoh masyarakat di Watusigar ini menyayangkan pemasangan patok tapal batas yang baru lantaran merugikan desanya. Hal ini terjadi lantaran peta desa antara Desa Watusigar dengan Desa Jatiayu saling over lap alias tumpang tindih. Akibatnya terjadi sengketa tapal batas diantara kedua desa yang kemudian diselesaikan secara sepihak antara Kades Watusigar dengan Jatiayu tanpa melibatkan masyarakat maupun lembaga di desa.

Berita Lainnya  Bahas Perbup, Pemerintah Akan Berikan Ganti Rugi Untuk Ternak Yang Mati Mendadak

“Sejak tahun 2016 sebenarnya bibit perselisihan ini sudah ada, bahkan saat saya menjabat Kepala Desa Watusigar sudah 4 kali dimediasi Pemkab Gunungkidul namun hasilnya mentok. Artinya Bupati dan BPN tidak berani membuat keputusan dalam permasalahan ini,” jelas mantan Kades Watusigar periode 2012-2018 ini.

Argumen Pardi kala mempertahankan sengketa tapal batas desa itu lantaran wilayah Ngawen adalah bumi perdikan di bawah Kawedanan Wuryantoro dan menjadi bawahan Kasunanan Pura Mangkunegaran yang dititipkan kepada Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat lewat maklumat perjanjian antara Mangkunegaran dengan Yogyakarta.

“Karena ada maklumat itulah maka untuk mengambil kebijakan harus melibatkan Mangkunegaran dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bahkan peta desa kami pun jelas, keluaran tahun 1919 lebih tua 12 tahun dari milik Pemdes Jatiayu yang keluaran tahun 1932. Artinya dasar tapal batas kami lebih kuat, dan hal itulah yang membuat bupati dan BPN tak berani mengeluarkan keputusan,” tegasnya.

Menurutnya, sejak turun temurun, di atas lahan yang saat ini menjadi milik Pemdes Jatiayu ini sudah dikelola Pemdes Watusigar dan disewakan kepada masyarakat yang mengolah lahan tersebut. Uangnya mengalir ke pemerintah desa dan menjadi PAD setiap tahun.

Berita Lainnya  Pengusaha Limbah Kain Perca Garap Proyek Pengadaan Masker BPBD, Mengaku Dapat Order Melalui Anggota DPRD

“Lha kalau sekarang kemudian menjadi milik Jatiayu, jelas masyarakat yang sudah bayar sewa lahan untuk pertanian dirugikan. Maka saya berharap Bupati Gunungkidul berkenan menganulir keputusan masalah tapal batas ini sebelum timbul gejolak lebih luas di masyarakat,” pinta Pardi.

Sementara itu, tokoh masyarakat Randusari, Watusigar, Wandi menambahkan, pemasangan patok batas desa yang dilaksanakan tanggal 4 Oktober 2019 kemarin berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan antara 2 desa.

“Nggak usah jauh-jauh, warga sekarang sudah banyak yang emosi dan hendak menghancurkan tapal batas yang pekan kemarin dipasang oleh Pemkab Gunungkidul, disaksikan pemerintah di 2 desa dan pejabat ATR BPN Gunungkidul,” kata Mardi.

Mardi juga menyayangkan langkah Kepala Desa Watusigar yang menyetujui pergeseran tapal batas desa tersebut tanpa melalui persetujuan BPD maupun lembaga dan tokoh masyarakat desa Watusigar.

“Jangankan melibatkan lembaga, dukuh Randusari, Cikal dan Dungmas yang wilayahnya tergerus saja tidak diajak berembuk. Padahal kebijakan yang diambil kades ini saya nilai fatal serta merugikan masyarakat,” pungkas Mardi.

Sementara itu, Kepala Desa Watusigar, Giman ketika dikonfirmasi membantah jika mengambil kebijakan yang merugikan kepentingan masyarakat Watusigar.

Berita Lainnya  Derita Para Pekerja Proyek Pamsimas Ratusan Juta di Desa Sidoharjo, Harus Bekerja Keras Namun Tak Dibayar

“Yang ngomong kalau itu tanah kas desa Watusigar itu siapa? Itu tanah tak bertuan alias enclave. Jadi tanah itu miliknya Sultan lantaran peralihan dari Mangkunegaran ke Yogyakarta,” kata Giman.

Munculnya Permendagri Nomor 35 tahun 2018, sambung Giman, secara jelas telah mengatur Pemkab Gunungkidul harus menyelesaikan sengketa tapal batas antar desa ini. Berhubung antara Pemdes Watusigar dan Jatiayu memiliki dasar dan bukti yang sama kuat terkait sengketa batas tersebut, maka kedua kepala desa menyerahkan penyelesaian persoalan sengketa ini kepada Sultan Hamengkubuwono X selaku pemilik lahan yang syah sekaligus Gubernur DIY.

“Sultan melimpahkan kebijakan penyelesaian persoalan ini kepada Bupati Gunungkidul. Dan meski keputusan bupati belum keluar, namun bupati sudah memerintahkan diberi batas titik koordinatnya. Lha maunya pemerintah dibagi dua demikian, kami tak bisa berbuat apa-apa. Saya pun menyerah dan disetujui kalau pembagian tanah dibagi dua secara membujur. Jadi kalau ini dinilai salah, ini sudah bukan salah saya, salahkan bupati atau Assek I dong,” pungkasnya.

Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler