Sosial
Cerita Pilu Yatinah Yang Hidup Sebatangkara Dalam Kondisi Lumpuh, Tidur Beralas Karpet dan Makan Dengan Tutup Kaleng Roti
Patuk,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Bertempat tinggal di sebuah rumah dengan ukuran 3×4 dengan tembok separuh batako dan separuhnya anyaman bambu, Yatinah alias Tuginah (65) hidup sebatang kara. Warga Padukuhan Pugeran, Desa Semoyo, Kecamatan Patuk ini hidup sendirian dalam kondisi lumpuh. Hal ini tentu membuat Yatinah tak bisa bekerja untuk sekedar menyambung hidupnya. Ironisnya, dengan segala keterbatasan yang ia alami, selama ini pula ia belum pernah tersentuh bantuan dari pemerintah.
Yatinah sendiri lama hidup merantau di Jakarta bersama suaminya, Mulyanto. Sehari-hari di perantauan, ia berjualan sayur. Pada tahun 2005, Yatinah kemudian memutuskan untuk pulang kampung. Namun, baru tiga bulan ia tiba di kampung halaman, Mulyanto justru meninggal dunia.
Tinggallah kemudian Yatinah hidup sebatangkara. Sebetulnya selama pernikahannya bersama Mulyanto, wanita ini sempat dikaruniai tiga orang anak. Namun belum juga tumbuh menjadi anak-anak, ketiga anaknya meninggal ketika masih bayi.
“Belum sempat ngurus pindah berkas KTP. KTP saya masih Tanah Abang, DKI Jakarta, kondisi saya sudah lumpuh dari tahun 2003 sehingga tidak bisa melakukan pencabutan berkas,” ucap Mbah Inah, begitu biasa ia dipanggil dengan nada terbata.
Diceritakan Yatinah, sejak sebelum memutuskan untuk pulang kampung, kondisinya memang sudah cukup lemah. Penyakit diabetes menggerogoti tubuhnya. Hingga akhirnya kemudian meski sempat mendapatkan pengobatan, kondisinya terus memburuk sehingga ia kesulitan untuk menggerakan kakinya.
Atas pertimbangan tak lagi bisa bekerja itulah ia lantas memutuskan untuk pulang kampung.
Lebih lanjut ia menceritakan, seusai suaminya meninggal, ia sempat kebingungan untuk menyambung hidup. Dengan kondisi yang lemah karena sakit, tentunya ia tak bisa bekerja.
“Tak berselang lama, saya kemudian jatuh di kamar mandi,” ucapnya.
Yatinah sendiri mengaku sudah pasrah dengan kondisinya. Ketiadaan biaya membuatnya harus merasakan sakit selama belasan tahun. Selama itu pula ia tak pernah mendapatkan pengobatan yang layak.
“Sampai akhirnya sekarang ini benar-benar lumpuh. Kaki saya tidak bisa digerakkan,” beber dia.
Untuk hidup sehari-hari, selama ini Yatinah hanya mengandalkan bantuan dari adik-adiknya. Makan, minum, memasak, tidur dan buang air ia lakukan dengan tembok bersekat kain dengan cara berjalan merangkak (nglesot).
“Biasane yen ora ono opo-opo maem lawuh uyah (kadang kalau benar-benar tidak ada bahan makanan ya saya makan nasi pakai garam),” kata dia.
Tak banyak perabotan yang ditemukan di dalam rumah Yatinah. Untuk tidur saja, ia hanya beralaskan dengan karpet. Sementara untuk perabotan di dapur, yang dimiliki dan dipergunakan oleh Yatinah memang jauh dari kata layak. Seperti yang paling menyedihkan, Yatinah bahkan tak memiliki piring. Sehingga untuk makan, ia hanya menggunakan tutup kaleng roti yang bahkan sudah berkarat.
“Dulu pernah memiliki tv dan alat penanak nasi, namun rusak,” ucap dia.
Untuk memasak, setiap harinya ia menunggu penjual sayur lewat. Itupun dia membeli jika ia memiliki uang.
“Masak kadang menggunakan kompor kadang menggunakan kayu,” kata Mbah Inah.
Sang adik yang selama ini merawat Yatinah, Wagiran mengungkapkan, saat pulang kampung pada tahun 2005 silam, kondisi kakaknya memang sudah mengidap penyakit gula yang cukup parah. Oleh keluarga, Yatinah kemudian dibawa berobat ke RSUD Wonosari.
“Selama beberapa waktu, kakak saya mendapatkan pengobatan,” kata Wagiran.
Dengan pengobatan yang didapatkan, akhirnya kondisi Yatinah berangsur-angsur membaik. Namun ketiadaan biaya membuat pengobatan yang dijalani Yatinah harus terputus. Ia pun akhirnya dibawa kembali dan dirawat di rumah lantaran tak sanggup membayar biaya pengobatan.
Tak adanya pengobatan membuat penyakit gula yang dialami semakin parah. Bahkan, penyakit tersebut mulai menyerang urat-urat di kaki Yatinah hingga berangsur-angsur tak bisa berfungsi. Akibatnya, Yatinah pun lumpuh.
“Keluarga tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak mampu,” beber dia.
Situasi sendiri semakin sulit lantaran Yatinah sendiri tak pernah mendapatkan bantuan maupun jaminan kesehatan dari pemerintah. Faktor status Yatinah yang masih ber-KTP DKI Jakarta ini membuatnya sulit untuk mengakses bantuan.
“Mau bagaimana lagi, Mbah Inah terdaftarnya bukan warga Gunungkidul. Untuk mencabut berkas di Jakarta juga tidak mungkin karena kondisinya,” tutup Wagiran.
-
Pemerintahan3 minggu yang lalu
50 Kilometer Jalan Kabupaten di Gunungkidul Beralih Status
-
Pemerintahan5 hari yang lalu
Pemkab Gunungkidul Naikkan Gaji Pamong dan Staf Kalurahan
-
Olahraga3 minggu yang lalu
Mengenal Hamam Tejotioso, Pembalap Cilik Gunungkidul yang Mulai Ukir Prestasi
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Angka Kemiskinan di Gunungkidul Masih 15,18%
-
Uncategorized4 minggu yang lalu
‘Modal Nekat’ Garapan Imam Darto, Sukses Kocok Perut Penonton Yogya
-
bisnis3 minggu yang lalu
Grafik Perjalanan Kereta Api Selesai Difinalisasi, Pemesanan Tiket KA Februari 2025 Mulai Dibuka Bertahap
-
Pemerintahan7 hari yang lalu
Gunungkidul Ajukan Tambahan Vaksin PMK 20 Ribu Dosis
-
Hukum3 minggu yang lalu
Kasus Penyalahgunaan Tanah Kas Desa, Lurah Sampang Ditahan
-
Pemerintahan3 minggu yang lalu
PMK Kembali Merebak di Gunungkidul, 43 Sapi Suspek Mati Mendadak
-
Hukum1 minggu yang lalu
Curi 5 Potong Kayu, Warga Panggang Terancam 5 Tahun Penjara
-
Pendidikan1 minggu yang lalu
SMA Muhammadiyah Al Mujahidin Siap Melaju ke Tingkat Nasional Ajang OMBN 2025
-
bisnis4 minggu yang lalu
Akhirnya! Kopi Tuku Sapa Tetangga di Yogya