fbpx
Connect with us

Budaya

Perayaan Satu Suro, Tradisi Malam Sakral Masyarakat Jawa

Diterbitkan

pada

BDG

Kulonprogo,(pidjar.com)–Masyarakat Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Solo (Surakarta) masih memegang teguh ajaran yang diwarisi oleh para leluhurnya. Salah satu ajaran yang masih dilakukan adalah menjalankan tradisi pengetan (peringatan) malam satu Suro atau malam satu Muharram, malam tahun baru dalam kalender Jawa dan Islam yang dianggap sakral sekaligus mistis bagi masyarakat Jawa.

Banyak tradisi sakral yang dilakukan masyarakat tanah Jawa dalam memperingati datangnya pergantian tahun berupa malam satu Suro. Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sering dilakukan tradisi mubeng beteng sambil tapa (bertapa) mbisu. Sementara di Keraton Surakarta Hadiningrat ada juga tradisi mengarak Kerbau Bule Kyai Slamet. Ada pula tradisi labuhan di Pantai Selatan Jawa.

Menurut Kanjeng Pangeran Panji (KPP) Atmodjo Purwo Kusumo dari Puro Paku Alaman Yogyakarta,tradisi pengetan malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Keraton Mataram Islam sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.

“Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. Maka Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Pengetan malam satu Muharram atau satu Suro salah satunya,” terang KPP Atmodjo disela-sela ziarah ke Astana Giri Gondo, Kali Gintung, Temon, Kulon Progo.

Astana Giri Gondo sendiri merupakan kompleks pemakaman dan peristirahatan bagi para Adipati Paku Alaman beserta keluarga dan kerabatnya. Maka tak heran jika setiap malam satu Muharram, Himpunan Kerabat Puro Paku Alaman (HKPA) beserta rombongan memperingatinya dengan melakukan takziah ke makam KGPAA Paku Alam V hingga KGPAA Paku Alam VIII yang dimakamkan dalam kompleks Astana Giri Gondo tersebut.

Berita Lainnya  Tahun 2019 Ini, Seluruh Desa di Gunungkidul Bakal Resmi Miliki Gamelan

“Biasanya untuk peringatan malam satu Suro, kita gelar doa bersama dengan HKPA dari berbagai wilayah. Namun berhubung saat ini virus Covid 19 masih terus mengintai, maka pengetan malam satu Suro kali ini kita selenggarakan secara sederhana dengan jumlah peserta yang tak terlalu banyak,” imbuhnya.

Sementara itu diungkapkan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rudi Ismanto Wiro Jopo Hutomo yang memimpin gelar doa bersama pengetan malam satu Suro 1442 H di Astana Giri Gondo. Selain di makam raja raja dan adipati juga diselenggarakan pengetan sejenis di tempat lain. Cepuri Parang Kusumo dan beberapa titik tempat keramat lainnya dipilih pihak Keraton untuk nguri-uri tradisi pengetan malam satu Suro.

Berita Lainnya  Event Megah Baron Art Festival, Upaya Untuk Mewujudkan Gunungkidul Sebagai Tujuan Wisata Yang Terkemuka dan Berbudaya

“Tradisi malam satu Suro menitik beratkan pada olah ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diisi dengan ritual pembacaan doa dari semua yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah keselamatan, kesehatan, murah rezeki dan menangkal datangnya marabahaya di tahun yang baru saja datang,” jelas KRT Wiro Jopo Hutomo.

Selain itu, lanjut KRT Wiro, sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan iblis dan setan yang menyesatkan. Artinya, masyarakat Jawa pada umumnya juga diminta tidak melupakan leluhurnya.

“Wong Jawa jangan sampai hilang Jawanya. Maka disini kita gelar doa bersama. Tujuannya yakni mendoakan arwah para leluhur dan pepunden yang telah mendahului menghadap Allah SWT. Semoga semua dosanya dikala hidup didunia mendapatkan ampunan sedangkan semua amal kebaikannya mendapatkan pahala serta bisa meraih kebahagiaan akhirat,” lanjutnya.

Dalam telisik Islam, Dalam agama Islam, awal bulan Muharram atau satu Suro adalah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lalu kenapa bulan tersebut disebut bulan haram? Menurut KRT Wiro Jopo Hutomo, ada dua makna bulan haram.

Berita Lainnya  Membangkitkan Permainan-permainan Tradisional Anak di Tengah Serangan Gawai

“Pertama bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan.Kedua adanya larangan berbuat buruk ditekankan karena bulan ini lebih baik dari bulan lainnya. Sebab Muharram atau Suroadalah bulan milik Allah SWT dimana Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara salat yang paling utama setelah shalat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim),” tegas KRT Wiro.

Maka sebagai umat muslim, KRT Wiro menekankan arti penting pengetan malam satu Suro bagi sesama muslim mengirim ucapan selamat disertai doa penuh harap kepada Allah SWT.Agar pada tahun depan, umat akan semakin baik dibandingkan tahun sebelumnya serta apa yang dikerjakan diberkahi oleh Allah SWT. (Gaib Wisnu)

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler