fbpx
Connect with us

Sosial

Sebagian Besar Masyarakat Hanya Lulus SD, IPM Gunungkidul Masih Rendah

Diterbitkan

pada

BDG

Wonosari, (pidjar.com)–Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gunungkidul terendah se-DIY. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gunungkidul, IPM di Gunungkidul pada 2016 adalah sebesar 67,82, sedangkan pada 2017 IPMnya sebesar 68,73. Angka ini sendiri secara kategori masuk dalam kategori sedang. Meski ada peningkatan sebesar 1,34 dalam setahun, namun demikian tetap saja IPM Kabupaten Gunungkidul masih rendah.

Pejabat Fungsional Statistik BPS Gunungkidul, Rendi Yudianto menuturkan, ada empat indikator yang mempengaruhi penilaian IPM. Di antaranya adalah Angka Harapan Hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), serta Pengeluaran per kapita. Diakuinya, kendala pada sektor pendidikan merupakan kendala paling sentral dalam meningkatkan IPM ini.

Berita Lainnya  Di Tanjungsari, Ditemukan PNS Dapat Bantuan PKH

“Seharusnya lama HLS adalah 12 tahun, tapi faktanya RLS baru sekitar tujuh tahun bagi penduduk usia 25 tahun. Artinya sebagian besar di Gunungkidul baru tamat SD bahkan kelas 1 SMP tidak tamat,” ucapnya beberapa waktu yang lalu.

Masih rendahnya tingkat pendidikan di Gunungkidul juga tercermin dalam tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk Gunungkidul yang berusia 15 tahun ke atas. Sebanyak 58,99% penduduk Gunungkidul baru menamatkan sekolah sampai tingkat SD dan SMP, di mana persentase yang tamat SD atau MI sebesar 33,20% dan tamat SMP atau MTs sebesar 25,79%. Tidak hanya itu, ada sebesar 11,51% penduduk Gunungkidul yang berusia 15 tahun ke atas tidak mempunyai ijazah.

Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul mempunyai Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) atau sekolah non formal yang dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sempat terhalang dalam menuntaskan sekolah di jenjang SMA atau SMK. Kepala Disdikpora Gunungkidul, Bahron Rasyid mengatakan, selama ini salah satu kendala yang dialami dalam pemanfaatan dan pengembangan SKB ini adalah stigma di kalangan masyarakat sendiri. Banyak yang menganggap sekolah non formal reputasinya belum teruji sehingga minat masyarakat pun menjadi rendah.

Berita Lainnya  Temukan Ada Upaya Pungutan, Dinas Minta SMP N 2 Playen Batalkan Pungut Sumbangan Kepada Wali Murid

“Padahal SKB ini harapannya bisa jadi alternatif guna mengubah dan memperbaiki indeks IPM,” ucapnya.

Dia menambahkan, keberadaan SKB sendiri adalah untuk memenuhi target wajib belajar 12 tahun. Dengan menyelesaikan wajib belajar 12 tahun ini, maka warga masyarakat berkesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik.

“Dengan latar belakang pendidikan yang lebih baik bisa memperbaiki taraf hidupnya dapat pekerjaan yang baik dan mapan,” pungkasnya. (Ulfah Nurul Azizah)

Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler