Connect with us

Sosial

Warga Watusigar Tolak Keras Pemasangan Tapal Batas Oleh Jatiayu, Tuntut Bupati Evaluasi Putusan

Diterbitkan

pada

BDG

Ngawen, (pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Polemik sengketa tapal batas wilayah antara Desa Watusigar, Kecamatan Ngawen dengan Desa Jatiayu, Kecamatan Karangmojo hingga saat ini masih belum menemui titik terang. Dalam mediasi yang dilakukan antara Pemkab dengan pihak desa pada Selasa (15/10/2019) kemarin, warga bersikukuh menuntut Bupati Gunungkidul mengevaluasi ulang keputusan penetapan tapal batas tersebut.

Warga menilai gara-gara pemasangan pathok titik koordinat tapal batas wilayah antara Watusigar-Jatiayu berpotensi memunculkan friksi antar desa. Seperti yang terjadi pada Minggu (13/10/2019) silam. Situasi di perbatasan desa sempat memanas ketika masyarakat Tegalsari, Desa Jatiayu hendak melakukan pemasangan garis tapal batas yang baru. Beruntung kemudian hal tersebut bisa diredam sehingga tidak terjadi kontak fisik antar warga.

Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah Pemkab Gunungkidul, Putro Sapto Wahyono memaparkan, permasalahan tapal batas wilayah antara kedua desa sebenarnya merupakan masalah lama. Menurutnya, dalam merumuskan keputusan, Pemkab Gunungkidul telah mempertimbangkan berbagai aspek.

“Semua harus berlandaskan pada hukum dan kronologis sejarah yang ada,” jelas Putro.

Ia beberkan lebih lanjut, rujukan yang dipakai Pemkab Gunungkidul dalam menyelesaikan persoalan ini antara lain Permendagri nomor 19 tahun 2006 tentang batas antara Provinsi DIY dan Jawa Tengah, Permendagri nomor 76 tahun 2012 tentang pedoman penegasan batas daerah, Permendagri nomor 45 tahun 2016. Selain itu juga Maklumat nomor 5 tahun 1948, Perda DIY Nomor 12 tahun 1957 tentang perubahan batas kapanewon Ngawen, Semin dan Nglipar.

“Selain itu, ada Berita Acara Timbang Terima Kekuasaan antara KRMT Mangkunegoro kepada Sri Paduka Sultan Hamengkubuwono ke IX 17 Maret 1958 yang disaksikan Menteri Dalam Negeri saat itu,” lanjutnya.

Selanjutnya dalam peta dasar yang dijadikan rujukan Pemdes Watusigar adalah hasil produksi Djawatan Topografi Angkatan Darat Brigade Jawa Tengah Seksi Surakarta tahun 1918, sedangkan dasar peta Pemdes Jatiayu adalah peta nomor 87 tahun 1938 produksi pemerintah Yogyakarta. Kedua peta tersebut disebutnya memang saling over laping dan masing-masing memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini kemudian dianggap kedua wilayah itu mengalami sengketa tapal batas wilayah. Kedua desa diminta untuk melakukan musyawarah untuk mufakat guna menyelesaikan sengketa tapal batas wilayah ini.

Berita Lainnya  Embung Grigak, Asa Warga Karang Aliri Lahan Pertanian dan Perekonomiannya

“Namun sampai batas waktu yang ditentukan tak juga ada mufakat, maka Bupati kemudian melaksanakan amanat dari Permendagri nomor 45 tahun 2016 dengan mengambil langkah kebijakan baik itu diserahkan maupun tidak oleh kedua desa yang bersengketa,” tegas Putro.

Dalam mengambil kebijakan, bupati memberikan 2 opsi kepada masing masing desa, yakni pada batas yang tumpang tindih itu dibelah tengah secara membujur atau dipenggal tengah dari barat ke timur sesuai titik koordinat. Kedua kepala desa lantas disuruh memilih dan disepakati wilayah dibagi secara membujur dan lalu diadakan penandatanganan berita acara.

Dalam hal ini pembagian tidak berlaku terhadap status tanah hak ulayat dan sebagainya termasuk tidak mengganggu gugat masyarakat yang selama ini menggarap lahan tersebut. Sehingga menurut Putro, tidak ada setitik pun niatan Bupati Gunungkidul untuk mengadu domba antara masyarakat Watusigar dengan Jatiayu.

Berita Lainnya  Beda Hitungan Kalender, Jamaah Masjid Aolia Rayakan Idul Fitri Hari Ini

Sementara itu, Ketua BPD Watusigar, Pardi mempertanyakan keputusan dari Pemkab Gunungkidul dalam menentukan tapal batas wilayah. Ia menyatakan bahwa Pemkab Gunungkidul tidak boleh melupakan sejarah panjang asal usul Watusigar yang erat kaitannya dengan tanah enclave Mangkunegaran.

“Kalau keputusan Bupati bukan mengadu domba, lantas apakah sudah dipikirkan secara jernih jika kebijakan itu memunculkan riak-riak permusuhan antara Jatiayu-Watusigar? Bukan masalah asas kemanfaatan yang kami tuntut, tapi ini motifnya apa kok harus dibelah membujur seperti itu?,” cecar Pardi.

Pardi menegaskan, warga Watusigar secara bulat menolak keputusan ini. Ia mengancam, bilamana Pemkab Gunungkidul tetap bersikukuh dengan keputusannya, warga Watusigar akan meminta keadilan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kecaman keras juga disampaikan Mardi, tokoh masyarakat Watusigar yang menilai Pemkab Gunungkidul gegabah dalam memasang pathok titik koordinat yang akhirnya memicu keresahan di tengah masyarakat bahkan berimplikasi perselisihan antar desa.

Berita Lainnya  Sempat Diwarnai Aksi Demo, Calon-calon Kades Bunder Akhirnya Ditetapkan

“Kalau ini keputusan Bupati, pertanyaannya mana bukti SK-nya? Bupati terlalu gegabah kalau tak ada hujan tiada angin tahu-tahu menyuruh memasang pathok titik koordinat tapal batas. Kalau sekarang baru sosialisasi sementara pemasangan pathok titik koordinat sudah terjadi kan namanya terbalik. Harusnya terbitkan Surat Keputusan Bupati dulu, baru perintahkan anak buah terjun ke lapangan untuk pasang pathok koordinat. Lha dasar bapak-bapak kemarin pasang pathok apa kalau belum mengantongi SK Bupati? Apa iya tertib administrasi cukup perintah lisan?,” tegas Mardi.

Mardi menyindir Pemkab Gunungkidul hendak menegakkan aturan tetapi justru melanggar aturan. Dan dengan pemasangan pathok koordinat itu Pemkab Gunungkidul membuat masalah bibit perpecahan lantas ditinggal pergi. Untuk itu pihaknya menuntut pathok titik koordinat dicabut, dilakukan evaluasi secara menyeluruh dalam waktu satu minggu.

“Untuk menjaga harkat martabat masyarakat Kecamatan Ngawen dan Desa Watusigar khususnya, kami siap mempertahankan wilayah teritorial Watusigar baik secara moril maupun materiil. Jika aspirasi kami tidak diindahkan, segera kita ambil langkah-langkah ke Gubernur DIY,” pungkasnya.

Situasi dalam sosialisasi tapal batas Desa Watusigar dan Jatiayu ini memang berlangsung panas. Guna mencegah situasi memburuk, kemudian diambil keputusan untuk menghentikan sementara pertemuan ini. Pihak Pemkab akan melaporkan terkait perkembangan situasi ini kepada Bupati Gunungkidul sebelum mengambil langkah lanjutan.

Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

bisnis2 minggu yang lalu

Libur Panjang Isra Mi’raj dan Imlek, 79 Persen Tiket Terjual di Daop 6 Yogyakarta

https://pidjar.com/wp-content/uploads/2024/12/VID-20241224-WA0007.mp4  Jogja, (pidjar.com)– PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daop 6 Yogyakarta mencatatkan penjualan tiket kereta api yang signifikan pada libur...

bisnis2 minggu yang lalu

Demi Lancarnya Perjalanan KA, Pusdalopka Rela Tak Ada Libur

https://pidjar.com/wp-content/uploads/2024/12/VID-20241224-WA0007.mp4  Jogja, (pidjar.com) – Salah satu elemen penting yang memainkan peran strategis dalam menjaga kelancaran operasional kereta api adalah Pusat...

Pariwisata3 minggu yang lalu

Kementerian BUMN dan Sejumlah Perusahaannya Bagikan Bantuan TJSL ke Warga DIY

https://pidjar.com/wp-content/uploads/2024/12/VID-20241224-WA0007.mp4  Jogja, (pidjar.com)– Kementerian BUMN bersama perusahaan yang berada di bawah naungan BUMN, salah satunya PT Kereta Api Indonesia (Persero)...

Pariwisata1 bulan yang lalu

Okupansi Hotel di Gunungkidul Hampir 100 Persen 

https://pidjar.com/wp-content/uploads/2024/12/VID-20241224-WA0007.mp4Wonosari,(pidjar.com)– Momen libur natal dan tahun baru 2025 menjadi hal positif bagi Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) okupansi hotel sangat...

Pariwisata1 bulan yang lalu

10 Ribu Wisatawan Kunjungi Gunungkidul Dimalam Pergantian Tahun 

https://pidjar.com/wp-content/uploads/2024/12/VID-20241224-WA0007.mp4Wonosari,(pidjar.com)– Dinas Pariwisata Gunungkidul mencatat sebanyak 10 ribu wisatawan mengunjungi destinasi wisata di Gunungkidul saat perayaan malam tahun baru 2025....

Berita Terpopuler