Sosial
Pelaku Mulai Tinggalkan Pesan Wasiat, Misteri Bunuh Diri Perlahan Mulai Tersibak






Wonosari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Belakangan ini, ada hal menarik dalam sejumlah kejadian bunuh diri di Gunungkidul. Pasalnya, para pelaku bunuh diri meninggalkan pesan wasiat baik berupa surat maupun pesan SMS terkait apa yang ia rasakan selama ini. Menanggapi hal itu, Yayasan Inti Mata Jiwa (Imaji) menyebut bahwa hal itu menjadi sebuah kemajuan sekaligus menjawab pertanyaan penyebab bunuh diri meskipun mungkin baru bisa dianalisa per kasusnya.
Aktivis Imaji, Wage Daksinarga menyebut, adanya pesan yang ditinggalkan oleh pelaku bunuh diri itu lebih menunjukan adanya sekat komunikasi yang tidak bisa ditembus oleh para pelaku. Hal itu berarti menunjukan sebenarnya para pelaku bunuh diri tidak memiliki keinginan untuk mati tetapi mereka ingin melepaskan beban hidup.
“Dengan adanya pesan itu, misteri itu (bunuh diri) tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya ada hal yang ingin mereka sampaikan tetapi ketika masih hidup mereka tidak sampai hati untuk menyampaikannya,” terang Wage kepada pidjar-com-525357.hostingersite.com, Senin (09/09/2019).
Menurut Wage, sebenarnya masalah bunuh diri ini bisa diatasi ketika ada komunikasi. Untuk itu, Imaji saat ini membuka layanan hotline untuk warga Gunungkidul sebagai bentuk pencegahan bunuh diri,. Selama ini layanan tersebut telah digunakan oleh beberapa orang berpotensi bunuh diri guna mencari solusi permasalahan hidup yang mereka alami.
“Kasus bunuh diri sampai September tahun 2019 ini ada 24 kasus. Sejak dua tahun terakhir ini sudah ada sekitar 20 orang yang konsultasi. Dan hasilnya ya mereka-mereka ini tidak sampai bunuh diri karena ada orang lain yang mampu mendengarkan keluh kesah mereka,” kata Wage.







Ia menjelaskan, selama ini mereka yang menggunakan layanan hotline tersebut adalah orang dengan usia produktif. Bahkan, mereka menurut Wage, tergolong dalam orang-orang yang mempunyai pendidikan menengah ke atas dan melek teknologi.
“Ada yang awalnya komunikasi dengan saya menggunakan bahasa inggris, ada juga yang S2 jadi hal ini menunjukan bahwa risiko bunuh diri tidak hanya ada pada diri orang yang tidak berpendidikan dan gaptek,” ungkap dia.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa mereka yang melakukan konsultasi memiliki masalah ekonomi dan keluarga. Sedangkan untuk kasus sakit menahun belum pernah didapatinya.
Dirinya juga menyayangkan bahwa ada beberapa pihak yang berfikir bahwa ketika bunuh diri terus dibahas, maka akan menyebabkan kasus terus bertambah. Sedangkan menurutnya, permasalahan seperti ini harus segera ditangani dan dibahas untuk mencari solusinya.
“Masalah bunuh diri jangan didiamkan saja, harus diperangi. Meski di Gunungkidul angka bunuh dirinya pada angka 30 kasus per tahun tetapi sebenarnya jumlahnya menurun jika dibanding dengan jumlah penduduk yang setiap tahunnya terus bertambah,” kata dia.
Untuk itu, dirinya berharap kepada calon pemimpin baru di Gunungkidul pada 2020 mendatang agar serius menangani kasus bunuh diri yang ada saat ini. Menurutnya, tim yang dimiliki pemerintah saat ini masih belum bekerja secara maksimal.
“Sebenarnya pemerintah sudah ada gerakan-gerakan kecil, tetapi kurang maksimal. Karena saya lihat komposisi timya adalah kepala dinas-kepala dinas yang sebenarnya mereka sudah dipenuhi dengan segudang tanggungjawab dan pekerjaan lainnya. Kenapa tidak mereka-mereka yang mempunyai kapasitas dan waktu longgar untuk serius menangani ini,” bebernya.
Terkait dengan mitos pulung gantung, Wage menganggap hal tersebut sengaja dibuat untuk menyelamatkan keluarga korban di mata masyarakat. Sehingga adanya mitos pulung gantung memiliki nilai positif.
“Kemungkinan mitos dibuat untuk menyelamatkan wajah keluarga pelaku bunuh diri. Sehingga masalah yang ada itu ditutup dan kemudian mengkambinghitamkan pulung gantung,” terang Wage.
Sementara itu, akedemisi Universitas Pasundan Bandung, yang juga merupakan tokoh masyarakat kelahiran Kedungpoh, Kecamatan Nglipar, Kolonel Tugiman melalui sambungan telefon menilai ada beberapa faktor penyebab bunuh diri. Yang paling dominan menurutnya adalah persoalan ekonomi dan rumah tangga. Namun ada juga diantara mereka yang terjerat hutang dari sejumlah bank keliling (lebih dikenal masyarakat dengan istilah bank plecit). Dalam kondisi himpitan dan kesulitan hidup yang tidak menemukan jalan pemecahan, maka mereka mengalami depresi, yang kemudian memilih mengakhiri perjalanan hidupnya dengan cara gantung diri.
“Dari depresi itulah kemudian muncul halusinasi di tengah kekosongan daya nalar. Akibatnya munculah mitos Pulung Gantung yang kemudian menjadi pilihan terakhir dalam menghadapi berbagai problem dan kesulitan hidup, di situlah gantung diri terjadi sebagai jalan terakhir menyelesaikan persoalan beban kehidupan yang dialami alami,” terang Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) itu.
Setiap tahun setidaknya 25 sampai dengan 30 orang mengakhiri hidup dengan gantung diri. Dari jumlah itu, sebanyak 31 persen pelaku gantung diri berusia 45 sampai dengan 60 tahun, sedangkan 44 persen berusia di atas 60 tahun.
Dari data itu artinya sebanyak 75 persen korban bunuh diri berusia di atas usia 45 tahun dan usia 60. Sementara usia 60 tahun ke atas, jumlahnya paling banyak.
“Nah, kalau kita lihat mayoritas pelaku gantung diri berusia 60 tahun keatas, maka secara umum para pelaku gantung diri termasuk dalam katagori “generasi tua” yang sebagian besar masih percaya pada mitos pulung gantung itu,” ungkapnya.
Ia menjelaskann, di situ terlihat mitos Pulung Gantung masih menjadi pemicu terbesar terjadinya bunuh diri di Gunungkidul. Sementara persoalan kondisi fisik sakit yang menahun serta gangguan kejiwaan juga merupakan faktor lain yang turut memberi kontribusi terus berlanjutnya dilema tersebut.
Menurut Tugiman, yang juga berstatus sebagai Perwira TNI-AD, dengan Pangkat Kolonel Inf itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi atau setidaknya mengurangi angka bunuh diri di Gunungkidul antara lain adalah pentingnya edukasi kepada nasyarakat terutama untuk mengikis mitos pulung gantung, termasuk di dalamnya melalui pendekatan agama, budaya dan kearifan lokal. Kemudian peningkatan dan pemerataan ekomi, pelayanan kredit usaha kecil untuk mengatasi ketergantungan sebagian masyarakat ekonomi bawah kepada bank-bank plecit yang memberatkan. Selain itu juga perlu penciptaan lapangan kerja, guna peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengikis angka kemiskinan yang masih tinggi.
Yang ketiga adalah perlu political will dari Pemerintah daerah untuk mengambil langkah solutif terkait beroperasinya bank-bank plecit dan solusi implementatif yang tearah dan terukur terkait persoalan tersebut. Kemudian pentingnya membudayakan keterbukaan dalam lingkungan keluarga untuk memecahkan persoalan-persoalan internal keluarga. Tak kalah pentingnya juga kepedulian dan kewaspadaan masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang ditopang oleh semangat gotongroyong dan guyup rukun dalam memecahkan persoalan yang terjadi di lingkungannya.
“Saya yakin bila upaya tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh, pada akhirnya akan dapat menekan dan mengurangi angka bunuh diri di Gunungkidul ini,” pungkas pria yang saat ini juga menjabat sebagai Kabid Organisasi KONI Provinsi Jawa Barat itu.