Advertorial
Desa Budaya di Gunungkidul Masih Segelintir, Ini Kendalanya






Wonosari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Meski digelontor dengan mewahnya dana keistimewaan yang cukup besar, belum membuat kebudayaan di Gunungkidul berkembang maksimal. Tercatat saat ini, dari 144 desa yang ada di Gunungkidul, baru segelintir saja desa yang telah masuk kategori desa budaya maupun desa rintisan budaya. Masih kurangnya tenaga pendamping serta ketidakfokusan dalam melakukan pendampingan dituding menjadi satu dari sekian kendala yang menyebabkan masih belum optimalnya pengembangan budaya di Gunungkidul.
Selain itu, beratnya syarat diberlakukan untuk kemudian bisa ditetapkan menjadi desa budaya ataupun rintisan desa budaya membuat pertumbuhan ini belum maksimal.
Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul, CB Supriyanto mengungkapkan, di Gunungkidul sendiri, saat ini terdapat 24 pendamping budaya yang mendampingi 15 desa budaya yang telah ditetapkan. Jumlah ini menurut Supriyanto berkurang jika dibandingkan sebelumnya di mana ada 2 pendamping di setiap desa budaya.
“Kalau masalah pendamping ini adalah keputusan Pemerintah Provinsi karena memang Desa Budaya dikelola oleh provinsi,” beber Supriyanto, Rabu (09/05/2018) siang.
Masalah sendiri semakin bertambah lantaran menurut Supriyanto, selain adanya pengurangan personel pendamping desa tersebut, pihaknya juga menemukan bahwa para pendamping terkadang masih terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sehingga pembinaan kebudayaan menjadi terbengkalai.







Ia menambahkan bahwa untuk setiap desa budaya, nantinya akan mendapatkan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi. Setiap desa budaya bakal mendapatkan dana bantuan sebesar 20 juta per desa setiap tahunnya yang diambilkan dari Dana Keistimewaan.
“Dana tersebut bisa digunakan untuk membiayai program atau kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan,” urai dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Gunungkidul, Agus Kamtono menjelaskan, untuk bisa kemudian ditetapkan sebagai Desa Budaya, ada beberapa hal yang harus dipenuhi. Antara lain, dari sisi arsitektur di mana bangunan asli Jawa harus terdapat di desa tersebut. Selain itu juga sebuah desa harus memiliki kuliner tradisional yang khas. Kemudian yang ketiga adalah adat istiadat yang masih terjaga serta terdapat kesenian daerah di desa tersebut.
“Juga masih ditambah adanya permainan tradisional yang masih ada dan berkembang,” beber Agus.
Dengan sederet persyaratan tersebut menurut Agus, semuanya harus terpenuhi. Hal inilah yang kemudian menjadi penghambat pertumbuhan desa budaya di Gunungkidul. Banyak desa yang terganjal salah satu persyaratan sehingga belum bisa ditetapkan sebagai desa budaya.
Desa budaya sendiri nantinya akan langsung mendapatkan pembinaan dari Dinas Kebudayaan DIY dan Dewan Kebudayaan Gunungkidul. Sementara untuk rintisan desa budaya dan kantong budaya di bawahnya, menjadi kewenangan Dinas Kebudayaan kabupaten.
“Kita akan terus bina sehingga nantinya desa budaya di Gunungkidul bisa terus bertambah jumlahnya,” urainya.
Desa budaya disebutnya bukan masalah prestise semata, namun juga sangat berguna bagi desa yang bersangkutan. Karena selain mendapatkan pendanaan, desa budaya juga nantinya bisa menjadi pendukung pariwisata. Ia berharap agar nantinya desa budaya tetap dipertahankan dan dapat ditingkatkan untuk menjaga keluhuran budata. Budaya sendiri memilik pesan yang sangat baik dalam kehidupan bermasyarakat.