Hukum
Dugaan Penyimpangan Penebangan Ratusan Hektar Lahan Jati, Petani Laporkan Ketua Kelompok ke Polisi






Nglipar,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Pemanenan kayu jati di hutan kemasyarakatan petak 37, Desa Kedungpoh, Kecamatan Nglipar menuai permasalahan di kalangan para petani khususnya mereka yang tergabung dalam kelompok pengelolaan hutan tersebut. Hal ini dikarenakan, dalam proses pemanenan, para anggota tidak dilibatkan dan bahkan sehingga tidak mengetahui perencanaan bahkan hingga hasil yang diperoleh dalam pemanenan. Yang terlibat pemanenan tersebut hanyalah ketua pengelolaan yakni Wardoyo. Geram dengan tindakan tersebut, para petani kemudian bersuara, mulai dari memberikan somasi hingga pelaporan ke pihak kepolisian.
Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Basuki mengungkapkan, berdasarkan kesepakatan yang dibuat sebelumnya, lahan di petak 37 dengan luasan sekitar 100 hektare tersebut dikelola oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam sebuah kelompok. Dalam perjanjian, masa pengelolaan hutan kemasyarakatan tersebut adalah selama 35 tahun. Sampai dengan tahun 2019 ini, lahan jati yang juga dimanfaatkan oleh para petani tersebut baru berjalan sekitar 20 tahun.
Masalah mulai muncul ketika ketua kelompok, Wardoyo berinisiatif untuk melakukan pemanenan (penebangan) pohon jati yang dikelola oleh masyarakat tersebut. Menurut hitungan, jati di kawasan tersebut sudah layak tebang dan dijual. Proses perencanaan dan penunjukan tim penebangan pun kemudian dilakukan. Meski begitu, anggota mengaku dalam proses yang dilakukan ini tidak melibatkan anggota lain. Tak hanya itu, masyarakat pun juga tidak dimintai persetujuan dari tim tersebut.
Dari situ, ada sejumlah kejanggalan yang dirasakan oleh anggota lainnya. Dugaan penyimpangan atas penebangan dan pemanenan hingga penjualan ini pun semakin kental dirasakan oleh masyarakat. Sejak bulan Agustus hingga November lalu pemebangan mulai dilakukan oleh tim. Namun demikian pelaporan pun tidak dilakukan oleh tim pada anggota.
“Sudah tidak dilibatkan ditambah tidak dikasih tahu mengenai pelaporan atas panen itu. Kami sudah pernah klarifikasi atas panenan itu, siapa yang mau beli, harga berapa, berapa yang dipanen. Tapi jawabannya berbelit-belit,” terang Basuki, Senin (16/12/2019).







Menurut dia, setiap kali anggota bertanya mengenai harga jual jati yang seharusnya dibagi dengan anggota (petani) dari tim penebang selalu berubah-ubah. Bahkan harga yang dipatok sendiri sangatlah rendah dibandingkan dengan harga yang seharusnya. Misalnya saja, untuk harga kayu ukuran 10 hanya dihargai 450.000. Padahal jika di pasaran menurut Basuki, jati ukuran tersebut bisa sampai menyentuh harga 900.000. Belum lagi ukuran 16 yang hanya dijual seharga 850 ribu rupiah, dan ukuran 30 sekitar 2,75 juta.
“Penebangan sudah selesai untuk sekarang ini. Anggota sepakatnya itu kalau dilibatkan dan harganya bisa dinaikkan, beberapa waktu lalu sempat ada permintaan harga ditinjau ulang, tapi ternyata tidak diindahkan. Hanya tahap 4 yang dan berikutnya yang bisa diubah, padahal tahap 1 sampai 3 itu juga banyak yang sudah dipanen,” tambahnya.
“Mekanismenya seperti apa kita tidak tahu. Hitungannya mereka sangat tidak transparan. Bahkan untuk kubikasi (pengukutan) ada indikasi dimanipulasi kok. Mereka bersikukuh kalau sesuai prosedur,” imbuh dia.
Beberapa waktu lalu, dari petani sendiri juga sempat mengeluarkan somasi. Namun tetap saja tidak ada perubahan. Para petani dalam somasi itu menuntut ganti untung sebesar 300 juta hingga penebangan yang dihentikan. Lantaran tidak kunjung ada itikad baik, para petani pun melaporkan dugaan-dugaan penyimpangan itu ke Polsek Nglipar.
“Ada beberapa yang kami laporkan. Mulai dari penyimpangan hingga pelanggaran hukum. Di mana ada oknum di dalam yang menjual kayu ukuran 7 secara ilegal,” jelasnya.
Selama ini, input pelaporan atas penebangan yang dilakukan, hasil jual, berapa yang ditebang masih belum dilaporkan kepada anggota lainnya. Mekanisme pembagian yang dilakukan nantinya dari hasil jualnya bagaimana masih belum ada kejelasan. Untuk di Unit Nglorog sendiri ada yang benar-benar ditolak untuk penebangan karena berada di lereng-lereng. Diperoleh informasi pula hingga sekarang ini biaya operasional telah menghabiskan dana sebesar 500 juta.
“Ndak ada pergerakan nanti takutnya justru ada gesekan. Untuk yang sudah kami laporkan ke pihak polisi ya biar berlanjut, kemarin sempat mediasi tapi ya hasilnya nihil,” tambah dia.
Sementara itu, Kanit Reskrim Polsek Nglipar, Ipda Darmadi mengungkapkan pihaknya masih melakukan pendampingan atas penebangan kayu di kawasan tersebut. Selain pendampingan dari.polisi juga melakukan pengawasan dan mediasi atas adanya pelaporan dari masyarakat tersebut.
“Masih kami lakukan pendampingan,” ujarnya.
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Bupati Endah Harapkan Tradisi Urbanisasi Mulai Berkurang
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Akhirnya Gunungkidul Akan Kembali Punya Bioskop
-
film2 minggu yang lalu
Diputar Bertepatan Momen Lebaran, Film Komang Ajak Rayakan Perbedaan
-
bisnis3 minggu yang lalu
Hadirkan Zona Baru, Suraloka Interactive Zoo Siap Berikan Pengalaman Interaktif dan Edukatif
-
Uncategorized4 minggu yang lalu
Milad ke 12, Sekolah Swasta Ini Telah Raih Ribuan Prestasi
-
bisnis4 minggu yang lalu
Sambut Lebaran 2025, KAI Bandara Beri Diskon Tiket dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
-
Sosial1 minggu yang lalu
Komitmen HIPMI Gunungkidul Jaga Kebersamaan dan Dukung Kemajuan Investasi Daerah
-
Peristiwa2 minggu yang lalu
Kebakaran di Rongkop, Bangunan Rumah Hingga Motor Hangus Terbakar
-
Peristiwa4 minggu yang lalu
Jelang Lebaran, Polisi Himbau Warga Waspadai Peredaran Uang Palsu
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Pemeriksaan Selesai, Bupati Segera Jatuhkan Sanski Terhadap 2 ASN yang Berselingkuh
-
bisnis4 minggu yang lalu
Catat Kinerja Positif di Tahun 2024, WOM Finance Berhasil Tingkatkan Aset 4,68 Persen
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Puluhan Sapi di Gunungkidul Mati Diduga Karena Antraks