Sosial
Keunikan Kampung Terpencil di Aliran Bengawan Solo Purba, Terang Terlambat Gelap Lebih Cepat
Girisubo,(pidjar.com)--Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Jawa. Pada masa kini, sungai tersebut membentang dari hulu di Kabupaten Wonogiri hingga Gresik, Jawa Timur. Pada masa purba, Sungai Bengawan Solo bahkan membentang hingga Pantai Sadeng di Kapanewon Girisubo. Namun lantaran adanya proses alam berupa pengangkatan tektonik pada jutaan tahun silam, aliran yang menuju Pantai Sadeng tak lagi mengalir Sungai Bengawan Solo.
Seiring berjalannya waktu, aliran Sungai Bengawan Solo purba beralih fungsi. Sebagian besar menjadi lahan pertanian, namun ada segelintir pula yang kemudian menjadi pemukiman warga. Padukuhan Wotawati di Kalurahan Pucung, Kapanewon Girisubo merupakan perkampungan yang berdiri di bekas aliran Bengawan Solo purba ini.
Dengan topografi wilayah yang berada di lembah dan dikelilingi perbukitan, kawasan ini memang memiliki keunikan tersendiri. Yang tak ditemukan di daerah lain adalah kampung ini mengalami keterlambatan sinaran matahari saat pagi. Selain itu, pada sore hari, kampung ini juga sudah mulai gelap.
Untuk menuju Padukuhan Wotawati yang memang cukup terpencil ini memang membutuhkan perjuangan yang cukup ekstra. Setelah menempuh perjalanan hingga 36 kilometer dari pusat kota Wonosari melalui JJLS menuju Kapanewon Girisubo, pengunjung atau warga kemudian harus melalui jalur yang cukup ekstrim. Turunan curam dengan kondisi jalan seadanya harus ditaklukkan untuk menuju perkampungan ini. Padukuhan Wotawati memang terletak di bagian paling ujung timur Gunungkidul dan lansung berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri.
Dukuh Wotawati, Robby Sugihastanto (27) menuturkan, padukuhannya memang sangat unik. Untuk warga pendatang atau pengunjung mungkin akan terheran-heran saat mengalami pergantian siang ke malam atau sebaliknya di wilayahnya. Saat pagi hari, wilayah Wotawati baru mulai terang terkena sinar matahari pada pukul 08.00 atau 08.30 WIB. Sementara pada sore harinya, kampung tersebut sudah mulai gelap dan tidak tersinari matahari pada pukul 17.00 WIB.
Menurut Robby, hal ini terjadi lantaran sinar matahari ke wilayahnya tertutup perbukitan yang memang mengelilingi perkampungan.
“Wilayah kami memang dikelilingi perbukitan. Jadi memang di lembah,” terang Robby.
Berdasarkan penuturan para sesepuh dan cerita yang berkembang secara turun temurun, Padukuhan Wotawati memang pada masa lalu merupakan aliran Sungai Bengawan Solo purba. Konon, ratusan tahun silam kemudian ada satu keluarga yang bercocok tanam di kawasan bekas aliran sungai dan kemudian membangun gubuk. Dari situ kemudian mulai berkembang pemukiman warga yang sampai kini mendiami Wotawati.
Menurut dia, warga Wotawati sendiri saat ini ada 82 Kepala Keluarga dengan jumlah penduduk mencapai 450 jiwa. Lantaran memang adanya keterbatasan lapangan kerja, banyak dari warganya yang memilih untuk merantau. Robby sendiri baru pulang sejak setahun terakhir setelah 8 tahun merantau.
“Kebetulan saya mendaftar dukuh dan diterima saat tes, akhirnya pulang,” lanjutnya.
Hampir seluruh warga yang tinggal Wotawati memang berprofesi sebagai petani. Warga sibuk dengan kegiatan pertanian maupun peternakan sebagai mata pencaharian harian.
Sebagai wilayah dengan lokasi terpencil dan di kawasan perbatasan, warga Wotawati juga harus menerima kenyataan kurangnya pembangunan di wilayahnya. Seperti misalnya perihal fasilitas umum seperti jalan sebagai akses utama mobilitas warga. Selama ini, warga belum pernah merasakan jalan mereka dilakukan pengaspalan. Padahal, medan jalan sendiri cukup sulit lantaran didominasi turunan maupun tanjakan yang cukup curam.
“Jalan ya seperti ini, hanya corblok dan belum pernah diaspal,” keluh dia.
Selain kondisi jalan, ada beberapa hal lain yang juga menjadi keterbatasan warga Wotawati. Diantaranya adalah fasilitas air bersih. Meski layanan PDAM Tirta Handayani telah terpasang, namun tak bisa optimal dalam mencukupi kebutuhan air bersih warga. Menurut Robby, sebagian besar layanan PDAM di wilayahnya mengalami kerusakan sehingga tidak bisa dimanfaatkan.
“Dari 21 titik yang ada, 15 titiknya bermasalah dan tak kunjung diperbaiki. Misalnya selama 3 bulan terakhir ini praktis kita hanya bayar beban,” lanjutnya.
“Kami hanya bisa mengandalkan air dari swasta, beli dari truk-truk tangki,” beber dia.
Tak hanya air, warga juga kesulitan untuk mendapatkan sinyal televisi maupun sinyal internet. Untuk sinyal internet sama sekali tak memadai. Manakala hujan deras, bahkan sinyal internet hilang. Sementara untuk bisa menonton acara televisi, warga juga harus menggunakan parabola.
“Pakai antena tidak bisa,” sambung Robby.
-
Politik3 minggu yang lalu
Suara Jeblok, PDIP Akui Kalah Rekruitmen dan Salah Tunjuk Ketua Bapilu
-
Politik4 minggu yang lalu
Hampir Separuh Incumbent Tumbang, Termasuk Ketua DPRD
-
Politik3 minggu yang lalu
21 Caleg Baru Akan Duduki Kursi DPRD Gunungkidul
-
Sosial3 minggu yang lalu
Beda Hitungan, Jamaah Aolia Gunungkidul Mulai Sholat Tarawih Malam Ini
-
Pendidikan3 minggu yang lalu
Capaian Prestasi SMA Mubammadiyah Al Mujahidin di Olympicad Nasional
-
Peristiwa2 minggu yang lalu
Gunungkidul Dilanda Hujan dan Angin Kencang, Sejumlah Titik Porak Poranda
-
Uncategorized4 minggu yang lalu
Peternak Telur Gelar Rembuk Nasional Demi Menyongsong Panen Jagung 1,9 Ton
-
Pemerintahan4 minggu yang lalu
Waspada, 2 Bulan Terakhir Kasus DBD di Gunungkidul Tembus 280 Penderita, 2 Meninggal Dunia
-
Pariwisata6 hari yang lalu
Menjelajahi Sejumlah Wisata Ekstrem di Kabupaten Gunungkidul yang Patut Dicoba
-
Sosial4 minggu yang lalu
Perduli Layanan Masyarakat, Pengusaha Ini Salurkan 6 Unit Ambulans Untuk Warga Gunungkidul
-
Olahraga4 minggu yang lalu
Targetkan 25 Medali Emas, Pemerintah Janjikan Bonus Untuk Kontingen Popda Gunungkidul
-
Pemerintahan3 minggu yang lalu
Mega Proyek Pembangunan Gedung DPRD Gunungkidul Dilanjutkan Tahun Ini