fbpx
Connect with us

Pemerintahan

Pemerintah Berencana Terapkan Pajak Progresif Untuk Tanah Menganggur, Pemkab Gunungkidul Keberatan

Diterbitkan

pada

BDG

Wonosari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Pemerintah Pusat mewacanakan akan menerapkan tarif pajak progresif bagi tanah yang menganggur alias tidak digunakan secara produktif. Pemikiran yang digagas oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani ini lantaran ditemukannya tidak semua tanah dimanfaatkan untuk kepentingan produktif.

Misalnya saja, tanah kerap didiamkan dalam kurun waktu tertentu sambil menunggu harga tanah naik. Padahal menurutnya, peran tanah sangat strategis untuk menciptakan produktivitas ekonomi apabila dimanfaatkan dengan baik. Alhasil, harga tanah pun melambung tinggi lantaran kemudian menjadi komoditi investasi oleh investor yang pada akhirnya merugikan rakyat secara kebanyakan yang tak mampu mengimbangi melambungnya harga tanah tersebut.

Menanggapi adanya wacana tersebut, Kepala Bidang Pendataan Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, Mugiyono mengatakan, apabila nantinya pajak progresif tanah yang menganggur disetujui, ia mengakui bakal sulit diterapkan di pedesaan. Hal ini lantaran di Gunungkidul sendiri, jumlah tanah yang menganggur sangat banyak.

“Kalau menurut saya bisa saja dilakukan di desa, tapi sulit. Hitung-hitungannya rumit, karena di Gunungkidul saja ada banyak sekali tanah yang menganggur itu. Jadi butuh waktu yang sangat lama untuk mendatanya saja,” jelasnya, Selasa (12/03/2018).

Berita Lainnya  Kebijakan Penghapusan Tenaga Honorer, Harapan Sekaligus Potensi Petaka

Dilanjutkannya, penetapan pajak progresif tanah menganggur akan lebih efektif apabila hanya diterapkan di perkotaan. Pasalnya daerah perkotaan merupakan pemukiman sehingga kepemilikan tanah lebih mudah teridentifikasi. Berbeda dengan pedesaan dimana masih banyak ladang yang luas dan jauh dari pemukiman warga, membuat proses pendataan akan menjadi jauh lebih sulit.

“Kalau di kota kan pemukiman, jadi bisa ditanyakan tanah itu milik siapa. Orang-orang pada tahu. Kalau di desa, ada lahan yang luas dan jauh dari pemukiman, mau nanya siapa. Belum tentu rumah terdekat dari ladang tahu tanah itu milik siapa,” tutur Mugiyono.

Tanah yang ada di desa menurutnya juga lebih banyak jumlahnya dibanding kepemilikan tanah kota. Ia membandingkan, apabila di kota ada 90.000 bidang tanah, maka di desa ada 600.000 bidang tanah. Sehingga menurutnya kebijakan tersebut dirasa belum memungkinkan dan masih absurd untuk ditindaklanjuti di pedesaan.

Berita Lainnya  Dua Jadwal Pelantikan 58 Lurah Terpilih

“Wacana itu mungkin hanya untuk diterapkan di kota saja. Karena Bu Sri Mulyani gemas banyak tanah yang dibiarkan nganggur. Sudah dikasih izin untuk dimanfaatkan, malah dianggurin gitu saja. Mungkin ya. Kalau diterapkan di sini belum lah, masih efektif pakai satu tarif reguler saja,” jelas dia.

Sementara itu, Sekretaris BKAD Gunungkidul Putro Sapto menambahkan, apabila wacana tersebut jadi diterapkan, maka akan ada proses yang sangat panjang. Selain melakukan pendataan terhadap bidang tanah yang menganggur, harus dipastikan terlebih dahulu definisi menganggur yang dimaksud.

Pasalnya, ia meyakini apabila wacana tersebut kemudian dibuat kebijakan, maka akan menimbulkan gejolak di masyarakat, apalagi jika definisi menganggur ini belum jelas. Pemilik tanah tentu akan merasa dibebani dengan penerapan pajak progresif tersebut, terlebih apabila pemilik memang sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengolah tanahnya.

Berita Lainnya  Puluhan Miliar Dana BKK Digelontorkan Untuk Pembangunan Fisik Kalurahan Tahun 2022 Ini

“Bentuk tanah yang dianggurkan kan macam-macam. Ada yang punya tanah tapi pemiliknya sudah sepuh sementara anaknya ada di luar kota, jadi terpaksa dianggurkan karena sudah nggak mampu lagi memanfaatkan tanah secara optimal. Atau memang dibiarkan dianggurkan karena sayang dijual untuk warisan. Yang seperti ini kan jadi beban mereka kalau ditetapkan pajak progresif,” papar Putro.

Meski begitu, ia meyakini, Menteri Keuangan mewacanakan pajak progresif tersebut lantaran untuk mendongkrak tingkat penerimaan pajak Pemerintah Daerah. Hanya saja, apabila ingin diterapkan, maka harus memiliki data yang valid sesuai dengan kualifikasi yang dimaksud agar tidak menimbulkan gejolak dan kesenjangan.

“Kalau tahun 2018 ini dipastikan belum ada kebijakan tersebut, karena kan masih sebatas wacana, jadi kami belum merespon. Kalau nanti ternyata pertengahan tahun ada perkembangan dari wacana menjadi regulasi, maka kami baru akan memulai proses pendataan karena nantinya akan berpengaruh dengan nilai pajak,” ujar Putro.

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler