fbpx
Connect with us

Sosial

Perjalanan Sawitri Wujudkan Mimpi, Dari Pinggiran Hutan Wanagama Hingga Gelar Doktor Universitas Jepang

Diterbitkan

pada

BDG

Playen,(pidjar.com)–Melihat anak menempuh ilmu di bangku kuliah menjadi impian banyak orang tua. Namun dengan mahalnya biaya pendidikan, tak semua orang memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Banyak diantara kalangan, khususnya dari ekonomi lemah yang harus memendam keinginan untuk menginjak bangku kuliah.

Hal ini sepertinya tak berlaku bagi Sawitri, warga Kalurahan Banaran, Kapanewon Playen. Keterbatasan fasilitas dan biaya tak membendung potensinya untuk bisa mewujudkan cita-citanya menempuh pendidikan tinggi. Tak tanggung-tanggung, putri penjaga hutan ini sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Tsukuba, Jepang.

Tak pelak prestasi sang putri ini membuat bangga Tukiyat (51). Betapa bahagia dirinya melihat putrinya, Sawitri mampu bersekolah sampai S3 di Jepang. Pasalnya, semasa sekolah permasalahan ekonomi selalu menjadi persoalan utama. Ia seakan tak menyangka bahwa sang anak bisa sampai menempuh capaian semacam ini. Hal yang sebelumnya bahkan tak berani ia bayangkan.

Diceritakan Tukiyat, Wasitiri sendiri telah beberapa waktu bermukim di Jepang untuk menempuh studi. Saat ini, ia hampir menyelesaikan studi strata tiga atau S3 di Universitas Tsukuba Jepang. Rencananya, jelang akhir tahun ini, Sawitri akan menyandang titel bergengsi yaitu sebagai Doktor lulusan Jepang.

Pada awal masa kuliahnya, perjuangan Tukiyat sendiri sangat berat, terutama dalam hal pembiayaan. Sebab, ia tergolong belum lama diangkat menjadi ASN setelah puluhan tahun mengabdi menjada hutan Wanagama.

Berita Lainnya  Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Bagi-bagi Buku

“Saya bekerja sebagai penjaga Hutan Wanagama tepatnya bagian pembibitan. Saya bekerja sejak tahun 1987 dan baru diangkat PNS pada tahun 2007 silam,” kata Tukiyat, Sabtu (20/06/2020).

Tukiyat pun menceritakan perjalanan anaknya hingga saat ini menjadi kebanggaan dirinya itu. Sejak kecil, bahkan sebelum masuk TK, dirinya telah menanamkan kesederhanaan dan kedisiplinan kepada putrinya. Selain itu, sopan santun untuk menghormati orang yang lebih tua selalu ia tekankan.

“Sejak kecil saat ikut arisan atau kumpul dengan masyarakat di sekitar Kalurahan Banaran selalu saya ajak. Saat itu selalu saya ajari untuk menghormati orang yang lebih tua,” imbuh dia.

Memasuki TK, ia mengantar putrinya untuk mendaftar. Namun pada hari kedua, Sawitri sudah menolak untuk bersekolah. Bahkan pada hari ketiga, sempat tidak mau bangun dan terpaksa disiram air.

“Sejak saat itu, Sawitri mulai biasa bangun sendiri dan berangkat ke sekolah,” kata dia.

Sawitri pun terbiasa dengan aktifitas berjalan kaki menuju sekolah lantaran jaraknya yang cukup jauh dari jalan raya. Bersekolah di SD Banaran 3, SMP 4 Playen, dan SMA 1 Wonosari, putrinya harus menempuh perjalanan yang cukup jauh.

Berita Lainnya  Jalin Kerjasama dengan Dua Perusahaan, Petani Tanjungsari Beranikan Diri Budidaya Porang

“Saat SMA itu dia jalan kaki dari sini (Wanagama) sampai perempatan Gading (kurang lebih 3 km) lalu ngebis (naik bis). Kalau kuliah sudah kos,” ucap Tukiyat.

Dia menceritakan, saat lulus SMA, sebagai seorang ASN yang berpenghasilan tak seberapa, ia sebenarnya tak ada niat untuk menguliahkan putrinya ke pergeruan tinggi. Namun, Sawitri memberanikan diri berbicara ingin melanjutkan kuliah kepada ayahnya. Melihat niat putrinya begitu kuat, dan atas dorongan salah seorang dosen UGM yang biasa mengurusi hutan Wanagama, ia kemudian mendaftarkan Sawitri ke UGM.

Saat mendaftar, pertama putri pasangan Tukiyat dan Sugiyem itu gagal lolos seleksi. Namun hal itu tidak membuatnya patah semangat. Sawitri semakin tekun belajar untuk mewujudkan mimpinya itu. Usaha keras Sawitri sendiri membuahkan hasil lantaran pada pendaftaran kedua, sang putri dinyatakan lolos dan bahkan mendapatkan beasiswa. Perempuan yang kini berusia 26 tahun tersebut diterima di Fakultas Kehutanan UGM pada 2011.

Berita Lainnya  Masjid Tiban Mistis di Ngawen, Jadi Sarana Memohon Dari Pedagang Hingga Abdi Negara

“Selama S1, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 100 ribu per bulan untuk biaya hidup. Dia terbiasa puasa Senin dan Kamis,” ceritanya.

Sawitri pun menyelesaikan jenjang S1 hanya dalam waktu 3,5 tahun. Selesai S1, Tukiyat berniat menghentikan studi anaknya. Namun, ia lantas didorong salah seorang dosen agar Sawitri melanjutkan S2 di UGM melalui program beasiswa. Bak gayung bersambut, Sawitri akhirnya mendapatkan beasiswa dan bisa melanjutkan studinya ke S2.

“S2 juga di Kehutanan UGM. Satu tahun delapan bulan Sawitri lulus S2,” ucap Tukiyat.

Sawitri memang memiliki semangat tinggi untuk menempuh ilmu. Ia lantas melanjutkan studinya ke S3 pada 2017 di Universitas Tsukuba, Jepang. Ia masih meneruskan untuk mengambil bidang kehutanan.

Rencananya tahun ini pada bulan September 2020 sang putri sudah lulus dan bisa pulang ke rumah. Tukiyat berharap putrinya bisa bekerja dengan penghasilan tetap dan menjadi panutan.

“Cita-citanya jadi dosen. Pesannya saya ke anak, jujur adalah utama. Lakukan apapun yang baik dengan rajin, bersikaplah sopan kepada siapa saja,” pungkasnya.

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler