fbpx
Connect with us

Sosial

Konsekuensi Massifnya Penjualan Tanah Oleh Para Petani di Kawasan Selatan Gunungkidul

Diterbitkan

pada

BDG

Wonosari, (pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Dalam beberapa tahun terakhir ini, industri pariwisata di Gunungkidul berkembang cukup pesat. Beragam objek wisata baik berupa desa wisata ataupun wisata minat khusus mulai bermunculan seiring dengan kunjungan wisatawan yang meningkat ke Gunungkidul. Wilayah selatan Gunungkidul pun masih menjadi primadona dan menjadi andalan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tak ingin menyia-nyiakan potensi yang ada, Pemkab Gunungkidul pun terus menggaet investor untuk mengembangkan industri pariwisata di Gunungkidul. Bahkan pada tahun 2022 ini, Pemkab Gunungkidul menargetkan PAD sektor pariwisata hingga Rp 27 Miliar, naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Perkembangan industri pariwisata di wilayah selatan Gunungkidul juga menimbulkan fenomena banyaknya tanah warga yang dijual. Plakat-plakat penjualan tanah kini mudah ditemui di sepanjang jalan pantai selatan Gunungkidul. Tanah batuan kapur yang dinilai kurang produktif yang kemudian ditawar dengan harga tinggi menjadi salah satu alasan banyaknya warga yang menjual tanahnya. Namun bagaimana konsekuensinya jika warga yang mayoritas sebagai petani ramai-ramai menjual tanahnya?

Berita Lainnya  Ramaikan Handayani Night Festival, Ratusan Seniman Gunungkidul Rela Tak Dibayar

Sosiolog Universitas Gajah Mada, AB. Widyanta, mengatakan jika secara umum fenomena itu lumrah terjadi di wilayah lain, tak hanya di Gunungkidul. Fenomena semacam ini bahkan menjadi sebuah tren yang dilatari dengan pilihan yang rasional dari transformasi masyarakat agraris atau petani, menuju pekerja di sektor jasa. Menurutnya, adanya fenomena massif berkaitan dengan penjualan tanah memiliki konsekuensi tersendiri.

“Dilihat dulu yang menjual petani dengan kepemilikan lahan yang luas atau kecil. Kalau petani yang memiliki tanah yang luasnya kecil tentu akan kehilangan sumber daya produksi atau alat produksi sebagai petani akan hilang,” ucap pria yang akrab disapa Abe, Sabtu (21/05/2022).

Petani yang memiliki lahan yang luas atau banyak dapat memilih mana tanah yang akan dijual dan masih memiliki cadangan alat produksi sebagai petani. Fenomena itu menurutnya sangat didorong oleh keinginan atau kebutuhan jangka pendek.

Berita Lainnya  Ramadhan Night Service, Ini Masjid-masjid Yang Disasar Layanan SIM Keliling

“Itu yang disebut sebagai dorongan ekonomi yang menjadi tanah menjadi mudah diperjualbelikan”, imbuhnya.

Pemerintah perlu hadir untuk mengawasi dan mengendalikan massifnya jual beli tanah di kawasan selatan Gunungkidul. Mudahnya jual beli tanah dapat berdampak jangka panjang bagi masyarakat yang mayoritas sebagai petani. Menurutnya, salah satu langkah yang dapat dilakukan ialah dengan adanya pemberian kesadaran kepada masyarakat agar tidak mudah menjual tanahnya.

“Jangan sampai petani kehilangan alat produksinya. Pemerintah Daerah ataupun Kalurahan dapat mengintervensi melalui himbauan atau memberikan kesadaran di forum-forum warga. Ada tren seperti ini sebetulnya nampak bahwa perlu diawasi dan perlu pengendalian,” jelas Abe.

Intervensi lanjutan agar warga tak mudah menjual tanahnya ialah dengan menghimpun tanah-tanah milik warga di pesisir dan berpotensi dikembangkan dengan dikelola secara kolektif. Menurutnya, jika ada ide semacam itu, petani justru dapat menjadi investor dan tanpa kehilangan tanahnya. Pengelolaannya pun dapat dengan Koperasi ataupun BUMDes. Namun sebelumnya, pemerintah perlu memberikan sosialisasi konsep pariwisata seperti apa yang akan dikembangkan agar masyarakat dapat melengkapinya.

Berita Lainnya  Sebarkan Pesan Pilkades Damai, Ambyar Pentaskan Kisah Pemuda Kaya nan Sombong Yang Ngebet Jadi Kepala Desa

“Tanah tidak dijual tapi dihimpun dan dijadikan modal bersama untuk menangkap peluang yang ada. Itu bagian dari investasi, justru investasinya berasal dari dalam. Untuk menyikapinya perlu gerakan komunal, tidak sendiri-sendiri, misalnya dengan membentuk Koperasi atau melalui BUMDes,” terangnya.

Dengan langkah tersebut, menurutnya dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi petani daripada menjual tanahnya ke pihak luar. Namun juga perlu adanya keseriusan dari pemerintah agar masyarakat tidak mudah menjual tanahnya dan ekspansi sektor pariwisata betul-betul tidak menghilangkan alat produksi petani.

“Kalau modal produksi petani sudah tidak ada terus bergantung pada pelayanan jasa saja. Tapi apakah mereka punya ketrampilan yang mumpuni? Itu yang perlu dipikirkan,” pungkas Abe.

Iklan
Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler