fbpx
Connect with us

Sosial

Aroma Pungli Dalam Pengelolaan Reservoir Air Bantuan Kementrian di Temuireng

Diterbitkan

pada

BDG

Panggang, (pidjar.com)–Tata kelola air milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang dialirkan dan ditampung di bak penampungan Padukuhan Temu Ireng 1, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang menjadi pertanyaan banyak warga setempat. Padahal, pembangunan sarana dan prasarana air yang dibangun oleh Kemenristekdikti yang bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Pemkab Gunungkidul hingga PDAM Tirta Handayani tahun 2017 silam ini bertujuan untuk mengentaskan masyarakat dari ancaman kekeringan yang melanda wilayah tersebut setiap tahunnya.

Dalam programnya, Kemenristekdikti dan BPPT mengembangkan dan memanfaatkan teknologi pengolahan air dengan teknologi surya. Lokasinya yang dipilih untuk pengembangan program tersebut adalah di Padukuhan Temuireng I, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang.

Dalam prakteknya, upaya serius pemerintah ini justru bergeser dari tujuan semula. Sebanyak 2 bak berukuran besar sebagai penampungan dan pengolahan air ini sekarang tak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Air yang dinaikkan ke reservoir atas menggunakan tenaga surya pengelolaannya tidak jelas dan justru terindikasi pungli oleh oknum dukuh setempat. Berdasarkan keterangan warga, hingga saat ini meski sudah 2 tahun berselang, belum ada pemasangan pipa saluran rumah (SR) dan meteran ke rumah-rumah warga. Hal ini tentunya membuat air yang ada tidak bisa dimanfaatkan warga. Setiap warga yang ingin menikmati air bersih tersebut bahkan harus membayar ongkos hingga mencapai ratusan ribu rupiah. Uang tersebut untuk membayar ongkos jasa truk tangki.

Berita Lainnya  Anggaran 9,8 Miliar Dialihkan, Penataan 3 Pantai Besar Ditunda

“Semua warga dusun kalau membutuhkan air ya membeli dari bak penampungan itu seharga Rp.120.000,- sampai 150.000,-. Dibayarkan ke pemilik tangkinya yang kebetulan warga sini juga,” terang Rud salah seorang warga Temuireng.

Menurut Rud, uang Rp 150.000,- yang dipungut itu rinciannya yang Rp 50.000,- disetorkan ke Dukuh Temu Ireng 1 dan sisanya untuk operasional truk tangki.

“Katanya, dana yang Rp 50.000,-/tangki itu untuk membayar tagihan meteran ke PDAM Tirta Handayani. Nah pertanyaannya kalau ke PDAM seharusnya dihitung per meter kubik, kenapa ini per tangki? Jangan-jangan ini pungutan tidak resmi berdalih distribusi air. Wong misal regulasi dan pengelolaannya jelas, warga juga siap untuk dipungut biaya untuk memasang pipa SR serta meterannya,” celetuk warga lain yang setiap bulannya menghabiskan 4 truk tangki selama musim kemarau panjang ini.

Padahal sejak diresmikan Muhammad Natsir, Menristekdikti saat itu, pihak pemerintah sudah membangun jaringan perpipaan hingga ke sekitar rumah warga. Sayangnya hal ini tidak segera disusul dengan pemasangan SR dan meteran ke rumah-rumah warga.

“Jadi yang ada ya hanya jaringan perpipaan itu. Untuk jaringan SR nya yang belum. Lha kalau modelnya seperti ini, jelas berbau pungli lantaran Pak Dukuh memungut dana dari masyarakat tanpa ada payung hukum. Tidak ada itu peraturan desa maupun BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang menjadi dasar Dukuh Temuireng melakukan pungutan air,” tambah Gi, warga setempat.

Dalam hitung-hitungan warga, rata-rata per kepala keluarga menghabiskan 3-4 tangki setiap bulan. Artinya warga menyediakan anggaran membeli air mencapai Rp 450 ribu/bulan bahkan lebih. Padahal di Padukuhan Temuireng I sendiri tercatat ada 156 KK dan ditambah sebagian warga Padukuhan Temuireng II yang terlayani.

“Total sekitar 200 KK yang dilayani. Jadi kalikan saja berapa duit yang dikelola jika setiap tangkinya dia mengelola Rp 50.000,-. Lantas berapa yang disetorkan ke PDAM, terus sisa berapa dan untuk apa? Semua itu tak pernah dilaporkan,” lanjut Gi.

Sementara Kepala Dusun Temu Ireng, Nangim membantah tudingan warga perihal adanya unsur pungutan liar dalam pengelolaan air di padukuhannya. Ia justru mengklaim bahwa pihaknya mengelola distribusi air milik PDAM yang ada di bak penampungan tersebut secara resmi. Meski diakuinya, belum ada regulasi jelas baik itu peraturan desa dan badan hukum seperti BUMDes.

Berita Lainnya  Klithih Sadis Beraksi di Logandeng, Bacok dan Rampas HP Pelajar SMK

“Memang belum ada Perdes terkait pengelolaan air tersebut. Namun anak saya yang bekerja di PDAM Kecamatan Panggang sudah mendapat mendapatkan SK atau surat tugas untuk mengelolanya,” klaim Nangim saat dihubungi melalui sambungan telefon.

Dia pun mengakui memang tidak bisa menghitung secara pasti tarif air yang didistribusikan ke warga yang membeli air tersebut. Sehingga memasang tarif air dengan hitungan per tangki.

“Air kan dari PDAM nya harga Rp.8.000,- per meter kubik. Namun karena belum ada pipa SR ke warga ya tarifnya Rp.50.000,- untuk pengambilan air per satu tangki. Dan kami setorkan hasil pengumpulan dana dari warga itu ke PDAM,” tukas Nangim.

Dalam kwitansi bukti pembayaran ke PDAM yang disodorkan Nangim, tercatat setiap bulan, pihaknya membayar antara Rp 719.000,- hingga tertinggi Rp 2.287.000,-. Untuk bulan November 2019 juga telah membayar Rp 1.103.000,-. Sedangkan ketika disinggung kelebihan dana hasil pungutan warga, Nangim bungkam seribu bahasa.

Berita Lainnya  Keluhkan Tak Kuat Lagi Menahan Sakit, Sularno Gantung Diri Sepulang Kerja Bakti

Terpisah Direktur Utama PDAM Tirta Handayani, Isnawan Febrianto mengaku tidak tahu menahu terkait tata kelola air di Temuireng I. Menurutnya, dalam kaitannya dengan program tersebut, PDAM Tirta Handayani hanya sekedar bertugas untuk mengisi air ke bak reservoir tersebut.

“Memang benar itu yang membangun BPPT, dan tugas kita dari PDAM sekedar memenuhi bak reservoir itu. Selepas itu untuk distribusinya terserah pengelola di sana. Jadi kita tak tahu menahu lagi airnya dijual berapa dan didistribusikan ke mana saja,” kata Isnawan.

Terkait permohonan warga agar dipasang sambungan SR ke rumah-rumah pelanggan Isnawan menyatakan PDAM Tirta Handayani belum mampu memenuhi kehendak masyarakat.

“Masalahnya jika dibikin SR kapasitas kita belum menjangkau. Misalnya ada mati listrik setengah hari saja, untuk memenuhi bak induk di Karang, Jetis saja bisa butuh waktu 4 hari. Jadi untuk yang Temuireng otomatis belum bisa seperti yang diharapkan warga,” pungkasnya.

Iklan

Facebook Pages

Iklan

Pariwisata

Berita Terpopuler