Politik
Mencermati Fenomena Gugurnya Lebih Dari Separuh Petahana Dalam Pilkades Serentak 2018




Wonosari,(pidjar-com-525357.hostingersite.com)–Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak di Gunungkidul yang berlangsung pada Sabtu (13/10/2018) kemarin memunculkan fenomena baru. Para calon kepala desa yang berstatus sebagai incumbent tak lagi terlalu jumawa. Hanya 14 calon petahana yang berhasil mempertahankan posisinya menjadi Kepala Desa dari 30 Desa yang menggelar pilkades serentak.
Adapun Desa yang dimenangkan oleh pertahana adalah Desa Baleharjo. Kursi kades yang semula diisi oleh pelaksana jabatan (Pj) kembali di duduki oleh Agus Setyawan. Kemudian, di Desa Siraman, Pj kepala desa, Damiyo berhasil mempermanenkan jabatannya hingga enam tahun kedepan. Sementara untuk Kecamatan Playen, dari lima desa yang menggelar pilkades, empat diantaranya kembali dijabat oleh mantan kades sebelumnya.
Adapun kades tersebut yakni, Iswanto Hadi sebagai Kades Ngunut, Suyanto sebagai Kades Dengok, Suhardi sebagai Kades Logandeng dan Mawal Edy Trukusmantya sebagai Kades Bandung. Mereka merupakan kepala desa yang menjabat pada periode sebelumnya.
Kemudian, untuk Desa Mulusan, kursi kepala desa kembali diduduki oleh Supodo.
Selain itu juga, untuk Saptosari, dua mantan kades alias petahana yaitu Suhut yang merupakan Pj Kades Kepek selama dua tahun terakhir serta Lasiyo di Desa Monggol berhasil mempertahankan jabatannya.




Beralih ke Kecamatan Karangmojo, tepatnya di Desa Kelor Suratman kembali akan memimpin desa tersebut.
Selain itu di Desa Kalitekuk juga masih dimenangkan oleh sang petahana, Waluya. Untuk di Desa Bulurejo, Legiman juga masih unggul dan sukses melanjutkan di masa jabatan selanjutnya.
Dua wilayah lain, yakni di Rongkop, Desa Botodayaan masyarakat masih mempercayakan kepemimpinan pemerintahan di bawah komando Wasija. Pun demikian dengan Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, kades lama, Suparna masih belum tergoyahkan.
Menanggapi fenomena kekuatan para petahana ini, Ketua Jejaring Rakyat Mandiri (Jerami), Rino Caroko menilai fenomena ini patut dicermati. Sebab menurutnya, dalam sebuah pemilihan yang demokratis, incumbent sebenarnya mempunyai banyak keuntungan. Mereka bisa menggunakan program-program pemerintah yang ada sebagai kekuatan untuk meraup dukungan. Namun demikian, jika dalam pemerintahan yang terjadi penuh polemik dengan masyarakat, posisi petahan justru akan menjadi boomerang.
Rino menyebut, ada beberapa faktor yang menjadi penentu sukses petahana mempertahankan kembali jabatannya. Diantaranya adalah kadar kesuksesan seorang kades tersebut selama masa kepemimpinan. Sebab, alokasi Dana Desa yang dikucurkan pemerintah pusat sendiri saat ini cukup banyak.
“Berbagai parameter dalam proses pembangunan yang selama ini telah dijalankan akan menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam menentukan pilihan,” kata Rino, Minggu (14/10/2018).
Faktor kedua, menurut Rino juga karena banyaknya basis massa yang fanatik maupun banyaknya jaringan keluarga dari petahana di suatu wilayah itu. Di desa, demokrasi memang beberapa diantaranya ditentukan oleh faktor ini. Silsilah dari para calon bisa dicermati warga pemilih lantaran memang mereka tinggal dalam lingkup wilayah yang tak terlalu jauh. Di Gunungkidul sendiri, bukan hal yang aneh saat melihat anak atau cucu mantan pejabat yang akhirnya berhasil menduduki suatu jabatan.
Namun demikian, disisi lain, Rino juga secara gamblang menyebut terjadinya kemungkinan politik uang dalam pilkades kali ini. Bahkan jurus serangan fajar, disebutnya masih berpeluang besar menjadi senjata ampuh untuk mendulang suara.
“Incumbent itu tahu peta politiknya, di wilayah ini massa saya sekian, saya butuh dana sekian. Politik uang saya yakin masih digunakan untuk mendongkrak perolehan suara,” imbuh dia.
Masyarakat, menurut Rino saat ini juga terbentur oleh kebudayaan masyarakat Gunungkidul yang mengedepankan rasa sungkan. Sehingga, jika salah satu calon memberikan uang, mereka pasti akan menerima dan memilihnya.
“Rasa pekewuh, karena kalau orang jawa itu ibaratnya kalau sudah dipangku maka akan mati, ya dipangku dalam hal ini diberi uang,” kata dia.
Praktik politik seperti diatas, akan berdampak buruk kepada masyarakat dalam jangka panjang. Sebab, kades yang terpilih melalui politik uang maka berpeluang untuk mencari celah memperkaya dirinya sendiri.
“Saat ini mungkin tidak ada pemimpin yang murni ingin mengabdi, pasti mereka juga akan berusaha mencari biaya modal kampanye,” ucap dia.
Maka dari itu, Rino berharap masyarakat mulai aktif dan peka terhadap segala aktifitas pembangunan fisik maupun non fisik di desa-desa. Sebab jika tidak diawasi dengan benar, maka penyimpangan akan sangat mudah terjadi.
“Tapi kendalanya, masyarakat bingung, mau lapor sama siapa mau bagaimana. Makanya mereka itu sebenarnya butuh wadah, butuh pendamping desa, bisa juga seperti kami (LSM) contohnya,” kata dia.
Rino juga menyebut, pembangunan yang bersumber dari Dana Desa sendiri masih penyerapannya masih sangat minim. Sebab kebanyakan pemerintah desa hanya menganggarkan untuk pembangunan infrastruktur.
“Penyerapan dana desa secara keseluruhan menurut pengamatan saya di Gunungkidul ini masih sangat minim,” kata dia.
Sementara itu, salah seorang politisi kawakan di Gunungkidul, Slamet S.Pd lebih menyoroti perihal perlunya kedekatan pemimpin dengan masyarakatnya. Menurut Slamet, jabatan kepala desa merupakan produk politik karena dilakukan atas pilihan rakyat secara langsung. Sehingga hal yang terpenting agar bisa terus mendapatkan jabatannya adalah dengan terus berinteraksi dengan rakyat.
Dalam dunia politik, terutama di tingkat pedesaan, selain kedekatan dengan masyarakat, faktor tim sukses juga menjadi hal yang terpenting. Dengan tim sukses yang solid dan langsung menyentuh warga, bisa menjadi kekuatan yang besar bagi seorang calon kepala desa.
“Terkadang dalam politik di tingkat desa, prestasi menjadi nomor kesekian. Yang terpenting adalah faktor kedekatan dengan masyarakat,” papar Slamet.
Meski begitu, adanya banyak petahana yang gugur dalam Pilkades serentak ini bukan lantas berarti mereka gagal dalam memimpin. Kembali ia memaparkan mengenai kedekatan dengan masyarakat. Meski hanya merupakan kata yang sangat sederhana, dekat dengan masyarakat ini berarti sangat kompleks. Memerlukan kharisma sekaligus juga upaya yang keras dari seorang pemimpin agar bisa membaur dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Fenomena semacam ini disebut Slamet sebagai hal yang cukup biasa. Seperti contohnya pada Pemilu 2014 silam, hanya 13 dari 55 anggota DPRD DIY yang merupakan petahana. Lainnya justru adalah legislator-legislator anyar.
“Bisa juga rakyat memang ingin penyegaran,” tutup dia.
-
Pemerintahan3 minggu yang lalu
Pemkab Gunungkidul Naikkan Gaji Pamong dan Staf Kalurahan
-
Pemerintahan4 minggu yang lalu
Angka Kemiskinan di Gunungkidul Masih 15,18%
-
Pemerintahan3 minggu yang lalu
Gunungkidul Ajukan Tambahan Vaksin PMK 20 Ribu Dosis
-
Sosial2 hari yang lalu
43 Tahun Berdayakan UMKM Gunungkidul, Koperasi Marsudi Mulyo Terus Berinovasi
-
Peristiwa2 minggu yang lalu
3 Korban Laka Laut Pantai Drini Ditemukan Meninggal, 1 Masih Dalam Pencarian
-
Pemerintahan1 minggu yang lalu
Gelontoran Anggaran Rp 1,5 Miliar Untuk Perbaikan Gedung Sekolah
-
Sosial1 minggu yang lalu
Bupati Gunungkidul Kukuhkan Pengurus FPRB Baru
-
Info Ringan3 hari yang lalu
Dibalut Horor, Film Petaka Gunung Gede Angkat Kisah Sahabat Sejati
-
Uncategorized2 minggu yang lalu
Jumlah Pengguna Kereta Api Membludak saat Libur Panjang, PT KAI Daop 6 Klaim Bisa Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
BKPPD Periksa 2 ASN Yang Diduga Terlibat Perselingkuhan
-
Pemerintahan2 minggu yang lalu
Keluarga Korban Laka Laut di Pantai Drini Akan Terima Asuransi
-
Peristiwa1 minggu yang lalu
Gempa 5,2 SR Guncang Gunungkidul